banner 728x250

Trialektika Politik Pemilu

Peter Lewuk
banner 120x600
banner 468x60

Oleh Peter Lewuk

SEBAGAIMANA diketahui, bakal calon presiden atau Bacapres, 2024 yang pertama kali dideklarasikan adalah Anies Bawedan. Beliau dideklarasikan oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tiga partai ini menamakan dirinya “Koalisi Perubahan untuk Persatuan”. Secara rekam jejak politik, Anies Baswedan pernah berkiprah sebagai gubernur Provinsi DKI Jakarta, Ibu Kota negara yang menjadi barometer politik nasional. Ia didukung oleh kelompok intoleram-radikal yang masih kental “ideologi implisit’-nya yaitu primordialisme. Beliau juga dilabeli dengan Bapak Politik Identitas. Adalah menarik bahwa Anies Baswedan  mengklaim dirinya atau diklaim sebagai “Antitesis” Presiden Joko Widodo.

banner 325x300

Di lain pihak, Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendeklarasikan Ketua Umum Partai Gerimdra, Prabowo Subianto sebagai Bacapres. Kemudian didukung lagi oleh Partai Golkar dan Parai Amanat Nasional (PAN). Empat partai ini menamakan diri “Koalisi Indonesia Maju”. Secara rekam jejak politik, Prabowo Subianto pernah sekali kalah sebagai cawapres dan dua kali kalah sebagai capres. Untuk pilpres 2024, Prabowo Subianto ingin bertarung lagi. Bersama koalisinya. Prabowo Subianto meminta izin dari rakyat agar mereka “dapat berkuasa” dan bertekad melanjutkan kebijakan Presiden Joko Widodo.

Akhirnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-Perjuangan mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai Bacapres. Kemudian didukung oleh Partai Peersatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, dan Partai Perindo (persatuan Indonesia).Mereka menamakan diri Koalisi Rakyat. Secara rekam jejak politik, Ganjar Pranowo pernah berkprah sebagai legislator di parlemen dan sebagai gubernur Provinsi Jawa Tengah. Berbeda dengan Anies Baswedan yang Antitesis Prsdien Joko Widodo, maka Gamjar Pranowo adalah “Tesis Keberlanjutan” dari Preiden Joko Widodo (Jokowi).

Trialektika Politik

Sekedar untuk mengingatkan kembali, filsuf Jerman, Hegel (1770-1831), mengajarkan apa yang sepanjang sejarah dikenal sebagai “Dialektika Hegel” yaitu preses penalaran dengan pola: tesis, antitesis, dan sintesa. Proses ini berlangsung secara saling bernegasi dan saling memperantarai, sehingga menghasilkan sintesa atau pembaruan dan perubahan.

Contoh di bidang politik adalah Absolutisme (sebagai teisis) akan melahirkan negasi dialektis Anarkisme (sebagai antitesis) dari rakyat yang dikuasai. Negasi dialektis kemudian melahirkan Demokrasi Konstitusional (sintesa), yaitu kekuasaan menurut undang-undang dsasar.

Lantas bagaimana dengan Trialektika? Lantaran ada tiga koalisi Bacapres yang akan bersaing pada pemilu presiden 2024, maka saya memperkenalkan istilah Trialektika, yang hakikatnya sama dengan pola Dialektika. Jadi, Trialektika adalah metode penalaran realitas politik pemilu, yang berpola saling bernegasi dan saling memperantarai antartiga kubu koalisi demi menghasilkan gagasan-gagasan bermutu yang akan dimiliki masing-masing Bacapres dan koalisinya, untuk ditawarkan kepada rakyat pemilih agar mendapatkan legitimasi demokratis dukungan mayoritas suara demi kemenangan.

Gagasan-gagasan yang akan ditawarkan itu harus bersifat rasional, dapat dikomparasikan, dan dapat dibedakan satu dengan yang lain, konkret alias tidak mengambang, bisa dieksekusi, dan hasil-hasilnya dapat dirasakan langsung oleh rakyat (untuk contoh dari pemilu yang sudah-sudah).

Sekedar Sebuah Contoh

Andaikan saja Si Polan adalah Bacapres, yang bersama “Koalisi Keberlanjtan” akan meneruskan kebijakan Preiden Joko Widodo; Dalam rangka itu, Si Polan bersama Tim Ahli dari Koalisinya akan melakukan penalaran berpola negasi dialektis-trialektial terhadap realitas politik pada pihak “Koalisi Ingin Berkuasa” dan realitas politik pada pihak “Koalisis Antitesis”, serta realitas politik yang ada pada pihaknya sendiri. Alhasil, diperoleh gagasan-gagasan yang menjadi milik Bacapres Si Polan yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih, seperti di bawah ini.

Yang paling utama adalah: Bacapres si Polan bersama Koalisisnya akan bertumpu pada “Batu Penjuru Paradigma Pembanunan Indonesiasentris” yang telah diletakkan oleh Presiden Joko Widodo. Di atas  kokohnya dasar negara dan ideologi nasional Pancasila, konstitusi UUD 1945, bentuk negara NKRI, dan dan semangat Bhinneka Tunggal Ika

Kemudian di atas kokohnya batu penjuru paradigma pembangunan Indonesia sentris itulah, didesain program-program pembangunan di segala bidang, masing-masing dengan nilai anggarannya, untuk setiap provinsi atau daerah bersama rakyatnya masing-masing. Dengan hierarki skala prioritas program, yang bertumpu pada prinsip “Keadilan sosial-proporsional bagi seluruh rakyat Indonesia” yang terimplikasi dalam amanat sila kelima dari Pancasila.

Hierarki skala prioritas paling utama adalah program pembangunan bidang ekononi, juga dengan deskripsi urutan skala prioritas pembangunan sektor ekonomi. Misalnya prioritas utama program ekonomi adalah melaksanakan perintah Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Pasal ini justru menjadi “pasal anak titi”  selama hampir satu abad Indonesia merdeka. Kemudian disusul urutan skala selanjutnya di bisang ekonomi seperti: ekonomi hijau, ekonomi digital. UMKM dan setrusnya.

Demikian juga halnya dengan urutan skala prioritas program pembangunan di bidang-bidang selanjutnya,  seperti Pendidikan, Kesehatan dan seterusnya, masing-masing juga dengan deskripsi urutan prioritasnya. Dan tidak kalah penting adalah setiap bidang program pembangunan harus dieksekusi oleh eksekutor yang benar-benar ahli di bidangnya.

Trialektika sebagai metode penalaran realitas politik untuk menemukan gagasam-gagasan yang “laku dijual” kepada rakyat pemilih, pelu dimiliki oleh setiap koalisi bersama Bacapres serta Tim Ahli masing-masing .Kecakapan dan kecerdasan menerapkan dialektika dan trialektika dalam menalar realitas politik akan menghasilkan gagasan-gagasan bermutu dan akan diskuskai oleh rakyat yang akan memberikan legitimasi demokratisnya kepada capres/cawapres dalam bilik suara.

Indonesia Negara Maju

Hukum Dialektika Hegel ataupun hukum trialektika adalah keniscayaan historis-universal, berlaku untuk setiap negara-bangsa dan masyarakatnya di muka bumi ini pada setiap kurun sejarah. Indonesia pun akan terniscaya dengan sendirinya dalam hukum dialektika sejarah dan trialektika politik. Pada saatnya Indonesia akan mengalami transisis dari negara berkembang menjadi negara maju seturut takdir hukum dialektika sejarah.

Segala persyaratan untuk terjadinya transisisi menjadi negara maju potensial dimiliki Indonesia. Cepat atau lambat terjadinya transisi, hal itu  tergantung pada ”sang pemimpin”, bukan sang penguasa. Sang pemimpin yang memiliki komitmen tinggi pada kemajuan bangsa dan negaranya. Sang pemimpin yang menjadikan “Rakyat Sebagai Tuan” yang akan “diabdi dan dilayani” oleh sang pemimpin. Pemimpin berprinsip yang punya keberanian dan nyali untuk melawan dominasi kepentingan asing terhadap Indonesia.

Sebaliknya berulang kali pula ditegaskan bahwa Indonesia sama sekali tidak butuh penguasa. Oleh karena itu, kepada seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai hak memilih, teruslah pegang teguh dan ingat akan pesan Presiden Joko Widodo, agar jangan sampai salah memilih pemimpin pada pilpres 2024 nanti.***

 Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flotres, NTT.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *