MASIH INGAT SKAKMAT Presiden Joko Widodo kepada wartawan senior tvOne, Karni Ilyas, beberapa waktu lalu? Dalam rangka Hut ke-77 Republik Indonesia, 17 Agustus 2022, Karni Ilyas melakukan wawancara khusus dengan presiden. Dalam wawancara itu Karni Ilyas meminta tanggapan Presiden Joko Widodo soal “kebebasan berbicara”, yang menurut survei dirasakan “masih kurang”.
Di luar dugaan, Presiden Joko Widodo justru memberikan jawaban, yang dalam permainan catur, disebut “Skak-Ster” sekaligus, alias mematikan langkah sang lawan bermain atau bertanding. Kepada Karni Ilyas, presiden mengatakan antara lain sebagai berikut:
“Kebebasan apa yang masih kurang? Orang memaki-maki presiden, orang menghina persiden, orang mengejek presiden, orang mencemooh presiden juga setiap hari kita dengar. Orang mendungu-dungukan presiden juga setiap hari kita dengar kita lihat. Biasa saja, mau seperti apa lagi yang kita inginkan?” Menyinggung soal demokrasi presiden mengatakan, “Demokrasi yang sangat liberal sekali menurut saya, meskipun kita ini orang Timur yang penuh dengan kesantunan yang penuh dengan etika dan tata krama yang baik, sekarang kita sangat liberal sekali.” (suara jogja.id, 23/8/’2022).
Ekskursus Filosofis Singkat
Sebagaimana biasa, saya ingin mengajak orang untuk bernalar sulit, maka sebelum memberikan komentar singkat tentang skamat presiden, saya ingin bertanya, tahukah Anda apa itu kebebasan?, sebuah kata yang selalu ”dimuliakan” orang. Menurut filsuf Rusia, Nokolai Berdyaeve (1874-1948), kebebasan adalah misteri, karena kebebasan berada dan lahir dari “ketiadaan” (nothingness). Kebebasan tidak berada dalam “ada” (being). Kalau kebebasan berada dan lahir dari ada, maka itu berarti ketidakbebasan karena dibatasi oleh “ada”. Jadi, kebebasan adalah ketiadaan (freedom is nothingness).
Pendapat Nikolai Berdyaeve itu menimbulkan kesulitan, kalau demikian bagaimana mungkin manusia dapat mengatakan tentang kebebasan dan melaksanakan kebebasan? Kesulitan itu dijawab oleh filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre (1905-1980), dengan melontarkan pertanyaan, “dari mana datangnya ketiadaan?”, sebuah pertanyaan filosofis, yang memusingkan kepala para filsuf.
Menurut Sartre, kebebasan muncul bersama dengan manusia. Manusialah yang membawa kebebasan. Karena manusia adalah makhluk intensional, yaitu berkesadaran diri yang mengarah kepada “ada” sekaligus juga mampu mengatakan “tidak” kepada “ada”. Dengan kata lain, manusialah satu-satunya makhluk yang dapat “meniadakan” (to nihilate) “ada”, yaitu meniadakan apa dan siapa saja yang membatasi dirinya. Menurut Sartre, kesadaran diri atau intensionalitas untuk “menidak” atau “meniadakan” itulah yang disebut kebebasan.
Dengan demikian, manusia tidak bisa dikatakan mempunyai kebebasan atau kebebasan merupakan salah satu karakter manusia, melainkan harus dikatakan bahwa manusia adalah kebebasan itu sendiri. Kebebasan adalah manusia dan manusia adalah kebebasan. Jadi, kebebasan manusia itu absolut dan menyangkut keutuhan eksistensi manusia individual-personal. Dengan begitu, dapatkah Sartre dituduh sebagai “penyembah” kebebasan absolut sebgai berhala?
Sabar dulu! Menurut Sartre, justru kebebasan absolut itulah yang membebankan dari dalam diri manusia dengan kewajiban dan tanggung jawab absolut pula, baik terhadap dirinya maupun terhdadap orang lain. Dengan demikian, merujuk Nikolai dan Sartre, saya dapat mengatakan bahwa justru “kebebasan saya dibatasi oleh kebebasan orang lain”, sehingga kebebasan saya tidak pernah absolut. Kebebasan dan tanggung jawab dalam diri saya saling mengandaikan dan saling mempersyaratkan secara sine qua non alias mutlak.
Kebebasan dan tanggung jawab merupakan esensialia eksistensi manusia (artinya hakikat keberadaan manusia) yang sekaligus menjadi imperatif kategoris (keharusan tanpa syarat) bagi manusia sebagai makhluk sosial untuk merumuskan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur koeksisteninya dalam suatu masyarakat, bangsa, dan negara.
Implikasi Bagi Pers
Dari skakmat Presiden Joko Widodo dan pendapat dua filsuf, Nikolai Berdyaeve dan Jean-Paul Sartre, ada empat kata kunci yaitu: kebebasan, demokrasi, tanggung jawab, dan absolut. Dengan catatan jangan alergi terhadap kata yang keempat, karena kata absolut, dalam konteks ini, mempunyai pengertian positif imperatif- kategoris, yakni bahwa baik kebebasan maupun demokrasi harus dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Ini berlaku pula untuk pers, baik praksis jurnalisme profesional media massa cetak dan elektronik, maupun jurnalisme profesional media-media sosial, dan citizen journalism atau jurnalisme warga. Jadi, semua pihak yang terkait dan terlibat dalam “ruang komunikasi publik” dituntut untuk melaksanakan kebebasan dan demokrasi secara bertanggung jawab, demi bonum commune yaitu kebaikan bersama atau kebaikan publik.
Menarik bahwa ketika menjawab pertanyaan Karni Ilyas, Presiden Joko Widodo sampai-sampai bertanya, kebebasan macam apa lagi yang masih kurang? Pertanyaan presiden itu dapat dielaborasi lagi menjadi: apakah selama memimpin negara ini, hampir dua periode, presiden “membatasi” kebebasan para warga negara Indonesia untuk berbicara, sehingga kebebasan berbicara itu dirasa masih kurang? Apakah para responden survei itu menghendaki kebebasan absolut, termasuk kebebasan melanggar norma etika, hukum, dan tata krama kesopansantunan ketimuran?
Padahal bukankah apa yang dialami atau dirasakan oleh presiden seperti yang dikatakannya kepada Karni Ilyas, itu justru merupakan akibat dari penggunaan “kebebasan semau gue”? Dikatakan “semau gue” atau kebebasan absolut karena tidak ada lagi batas-batas normatif etika kesopansantunan berbicara kepada atau tentang orang lain, apalagi orang itu adalah presiden baik sebagai pribadi, kepala keluarga, maupun sebagai simbol negara!
Beruntunglah meski “dikata-katai” seperti tersebut di atas, toh presiden tidak memerintahkan Badan Inteljen Negara untuk menyelidiki dan mengusut koknum-oknum warga negara yang berbicara negatif tentang presiden kemudian mengirim mereka ke hotel prodeo atau “disukabumikan” (istilah zaman Orde Baru, artinya dihilangkan nyawanya). Pernahkah selama hampir dua periode memimpin Indonesia, Presiden Joko Widodo membredel koran, majalah, atau televisi? Saya belum pernah mendengar soal ini.
Di media massa mapun media sosial, kita menyaksikan dan mendengar ada nara sumber yang “diklaim” sebagai filsuf, sebuah sebutan yang memang keren. Tapi sayangnya sang filsuf hanya mau menonjolkan dirinya sendiri sebagai orang cerdas, yang memperdungu orang lain, dan bukan memperlihatkan diri sebagai orang yang juga berhikmat dan cinta akan kebijaksanaan, sebagaimana laiknya seorang filsuf sejati! Yang ditampilkan adalah sosok seorang “petengkar” ketimbang filsuf. Sang “petengkar” akan menggunakan logika akal bulusnya untuk memenangkan pertengkaran. Sebaliknya sang filsuf akan memberikan pencerahan dan solusi kepada bangsa dan negara manakala menghadapi problem. Tugas filsuf adalah bukan “memperdungukan” orang, melainkan mencerdaskan orang.
Kalau dulu di zaman Orde Baru, pers Indonesia menghadapi tantangan berat dan sangat berhati-hati terhadap sebuah makhluk, yang ketika itu saya kritik sebagai “makhluk metajurnalistik”, yaitu “kekuasaan” dengan ideologi “tirani tanggung jawab”, yang membelenggu kebebasan. Ini membuat pers Indonesia Orde Baru selalu dalam ketegangan dilematis antara tirani tanggung jawab dan kebebasan. (Media Indonesia, 9 Februari 1995).
Sekarang di era Reformasi, yang terjadi adalah kebalikannya. Bukan lagi tirani tanggung jawab, melainkan “tirani kebebasan” yang mengabaikan tanggung jawab, sehingga yang terjadi adalah seperti misalnya yang dialami oleh presiden: makian, hinaan, ejekan, dan didungu-dungukan, yang dapat diketahui dari media massa maupun media sosial, dan media jurnalisme warga. Lagi-lagi, dilema antara kekebasan dan tanggung jawab yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Jurnalisme Digital-Delibaratif
Di atas saya mengatakan bahwa skakmat Presiden Joko Widodo merupakan tantangan bagi jurnalisme digital-deliberatif, terlebih lagi mengingat jurnalisme digital sangat marak dewasa ini, seiring dengan perkembangan tekonogi digital yang sangat mempermudah selancar informasi dan komunikasi daring atau dalam jaringan.
Nah, yang saya maksudkan dengan jurnalisme digital-deliberatif adalah prinsip keseimbangan antara dimensi kebebasan dan dimensi tanggung jawab, yang dalam proses redaksionalisasi konten sajian berita, harus mempertimbangkan secara cermat dan komprehensif aspek-aspek terkait, termasuk kode etik pers, moral, dan hukum, sebelum dikonsumsikan ke publik melalui siaran digital. Semuanya itu harus dapat diketahui (bisa juga tidak diketahui?), terbaca, terlihat, dan terdengar pada: tajuk rencana atau editorial, sajian utama, wawancara khusus dengan tokoh, liputan khusus, liputan investigatif, serta berita-berita tentang pembangunan, pemerintahan, dan sebagainya dan seterusnya.
Terus terang, tidak ada niat untuk menggurui rekan-rekan wartawan senior maupun wartawan yunior. Oleh karena itu, saya ingin mengakhiri komentar singkat atas skakmat presiden tersebut di atas dengan menandaskan bahwa dasar filosofis pers Indonesia adalah Pancasila, sehingga disebut “Pers Pancasila”, yang di era Reformasi ini banyak diabaikan karena dianggap bombastis dan sloganistik ala Orde Baru.
Padahal sesungguhnya Pancasilalah das Sein dan das Sollen Pers Indonesia. Artinya, Pancasilalah yang menjadi paradigma praksis pers Indonesia (das Sein) untuk mewujudkan cita-cita filosofis-konstitusional (das Sollen) yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasilalah yang mendasari dan menjadi kompas penunjuk arah perjalanan pers Indonesia sebagai pilar keempat demokrasi Indonesia. ***
Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.