SINERGISATU.COM -Sebuah buku akademik. Bagian awal mengkaji cukup komprehensif tentang konsep-konsep pembangunan hukum, pembaharuan politik hukum, hukum Pidana Peninjauan Kembali (PK) serta kaitannya dengan hak asasi manusia. Merupakan materi penelitian di negeri Belanda tentang hukum pidana Peninjauan Kembali menambah bobot dan memperkaya isi buku ini.
Penelitian dan kajian dalam isi buku ini menemukan, praktek kebijakan politik hukum PK selama ini masih multi tafsir. Terpidana sebagai subyek hukum PK sudah diatur dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, tapi pelaksanaannya menimbulkan tafsir berbeda ketika diperhadapkan dengan pasal 23 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kini telah mendapatkan legitimasi-yuridisnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016, tanggal 12 Mei 2016 (kasus Joko S. Tjandra) bahwa subyek PK adalah terpidana dan bukan Jaksa.
Begitu juga dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 (dalam kasus Antasari Azhar) membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Pasal tersebut dinilai tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlindungan HAM bagi terpidana.
Walau begitu, pembentuk undang-undang tetap berpendirian bahwa PK harus dibatasi sebagaimana dengan pemberlakuan asas hukum litis finiri opertet, yakni, setiap perkara harus ada akhirnya. Padahal, PK boleh lebih dari satu kali (vide Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014).
Namun sikap politik hukum pembentuk undang-undang belum berubah dari bunyi pasal 268 ayat (3), dimana permohonan PK hanya dapat diajukan satu kali saja. Salah satu alasan yang disampaikan pemerintah di balik masuknya kembali rumusan ini yaitu untuk menghindari terjadinya penumpukan perkara di pengadilan dan hanya untuk menunda-nunda eksekusi. Penelitian dan kajian penulis yang tertuang dalam isi buku ini menjelaskan tidak ada hubungan antara penumpukan perkara dan penundaan eksekusi yang berkenaan dengan pengajuan PK lebih dari satu kali.
Isi buku ini menguraikan cukup detail beberapa kasus pidana yang menghebohkan dan berproses sampai pada permohonan PK. Mulai kasus Sengkon dan Karta sebagai pintu masuk hadirnya Pidana Peninjauan Kembali di Indonesia. Kasus Muchtar Pakpahan yang justeru PK diajukan oleh Jaksa, Kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, PK diajukan oleh Jaksa, Kasus Fabianus Tibo cs, PK kedua ditolak. Selain itu, Kasus Antasari Azhar dan kasus yang ditangani oleh penulis sendiri yaitu kasus Herman Jumat Masan dari terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup.
Saat ini dan akan datang, kejahatan yang menyertai kemajuan Iptek pun menjadi tantangan serius bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan berbagai kasus pidana yang terjadi. Mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di negeri Belanda, kini pendapat atau kesaksian ahli sudah dapat dijadikan sebagai Novum untuk membantu hakim mengungkapkan kebenaran materil. Ahli yang pendapatnya dapat dikategorikan sebagai Novum ini dipastikan memiliki kualifikasi tertentu mengenai keahlian profesinya. Mereka diakomodir membantu hakim di tingkat PK mengungkap kebenaran material baik mengenai substansial perbuatan pidana maupun pelaku tindak pidananya.
Belajar dari Pidana PK di negeri Belanda, dilakukan dengan mendirikan sebuah Lembaga yang bernama CEAS (Commisie Evaluatie Afgesloten Strafzaken). Lembaga ini bertujuan membantu Mahkamah Agung dalam menyelesaikan permasalahan hukum di bidang PK; sebagai upaya hukum luar biasa yang telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat; yang bersifat khusus, berskala besar dan memiliki tingkat pembuktian yang cukup rumit.
Hasil kajian sebagaimana tertuang dalam isi buku ini merekomendasikan, di masa depan diharapkan pembentuk UU dalam hal Pemerintah dan DPR perlu melakukan harmonisasi dan singkronisasi UU yang mengatur tentang PK, baik yang bersifat prosedural maupun substansial (KUHAP, UU Kekuasan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung).
Sambutan dari Prof. Dr. Dr. Gatot Susilo Lawrence, MSc, SpPA (K), DFM, SpFM, FESC, seorang ahli forensik dan advokat senior dan pakar hukum Prof. Dr. OC. Kaligis, SH, memperkaya makna wacana ini.
Sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, politik hukum PK di Indonesia juga harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan terkini sebagaimana sudah dipraktekan di Belanda dalam proses penegakan hukum dan keadilan bagi kepentingan masyarakat pencari keadilan. Untuk lebih jelasnya, mengenai perkembangan dan pembaharuan politik hukum PK di negeri Belanda akan dibaca uraiannya pada Bab III, pada Edisi Revisi buku ini.***