Politik Adiluhung Allah
Supaya pembaca tidak salah paham, maka perlu dijelaskan apa itu politik adiluhung Allah? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adiluhung berarti sesuatu yang bermutu tinggi. Bila dikontekskan dengan Allah, berarti “politik Allah yang bermutu tinggi”, yaitu “politik nilai” yang tak ternilai.
Dengan begitu, politik adiluhung Allah berarti “hikmat-kebijaksanaan Allah, yang atas kedaulatan, otoritas, dan kehendak bebas-Nya sendiri dari semula telah menciptakan, menghidupkan, memelihara, peduli, menyelenggarakan, dan menyelamatkan manusia, yang direalisasikan oleh Yesus Kristus, Sang Firman Allah yang menjadi Manusia, Sang Juruselamat umat manusia dan dunia.
Dengan demikian, adalah tepat kalau penulis memberi gelar kepada Yesus sebagai “Tokoh Politik Adiluhung Allah”. Pada performa atau kinerja dan citra Yesus serta pengajaran dan perbuatan-Nya, akan terlihat jelas apa makna diktum “Politik Allah Antitesis Politik Herodian” atau para penguasa dunia.
Namun, jangan membayangkan politik adiluhung Allah itu sesuatu yang luar biasa dan sulit, melainkan sederhana dan biasa-biasa saja, sebagaimana telah diperlihatkan oleh Yesus sendiri, yang diawali-Nya dengan peristiwa kelahiran-Nya di tempat sederhana yang tidak layak untuk seorang raja.
Titik tolak untuk memahami politik adiluhung Allah yang bersifat antitesis adalah “Kerajaan Allah” yang diproklamasikan oleh Yesus ketika memulai karya-Nya: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1: 14-15).
Sebab, dengan kedatangan Yesus ke dunia ini dan pemberitaan Injil Kerajaan Allah, yang kemudian dilanjutkan oleh Gereja-Nya, maka sesungguhnya Allah telah, sedang, dan akan terus memerintah dan merajai dunia ini hingga kesudahannya.
Secara sederhana politik antitesis itu dapat dirumuskan begini: “Segala sesuatu yang baik dan benar yang berasal dari Allah demi keselamatan manusia adalah antitesis terhadap segala yang buruk dan jahat yang berasal dari Iblis yang ingin terus menguasai dan membinasakan manusia”.
Karena itu, Yesus sendiri berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat yang memperbudak manusia. Meski demikia Ia tidak menggunakan kekerasan dan tangan besi. Sebagaimana kritik Yesus terhadap pemerintah dan pembesar yang sudah dikutipkan di atas melainkan dengan “otoritas sabda-Nya” sendiri.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh saja tentang pengajaran dan perbuatan Yesus yang bersifat antitesis terhadap para elite politik dan elite agama zaman-Nya, yang juga tentu saja relevan dan aktual untuk zaman milenial.
Sebagai antitesis terhadap politik tangan besi dan politik kekerasan Yesus merekomendasikan kepada pemerintah dan penguasa untuk menjalankan “politik pelayanan” terhadap rakyat mereka. Kata Yesus: “Tetapi tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa yang ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk. 10: 43-44).
Yesus meminta untuk mencontohi diri-Nya: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk. 10: 45). Jadi, politik pelayanan adalah antitesis terhadap politik tangan besi dan politik kekerasan.
Selain kritik antitesis terhadap pemerintah dan penguasa, Yesus juga melancarkan kritik antitesis terhadap para elite agama ketika Yesus mewartakan kebenaran, yang didengar-Nya dari Allah yang mengutus-Nya ke dunia. Akan tetapi para elite agama bukannya berusaha mengerti makna firman Yesus, malah sebaliknya berdebat dengan Yesus soal Abraham adalah bapa mereka dan berusaha membunuh Yesus.
Maka kritik Yesus: “Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku. Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta” (Yoh. 8: 43-44).
Jadi, kebenaran Allah adalah antitesis terhadap dusta Iblis. Dan, jikalau para elite politik dan elite agama berdusta kepada rakyat dan umat mereka, maka mereka adalah anak buah bapa Iblis.
Dalam perkara pembebasan dan kemerdekaan dari kolonialisme Roma, Yesus berbeda pendapat dengan kaum Zelot, nasionalis-revolusioner, yang ingin merdeka dengan jalan revolusi fisik melawan musuh mereka. Kata Yesus: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan bagi orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5: 43-45).
Yesus tidak pernah merekomendasikan semacam “perang suci” melawan musuh, melainkan menyuruh berdoa dan mengasihi musuh. Yesus lebih mengutamakan kekuatan cinta kasih, pengampunan, belaskasihan, dan kemurahan hati. Bagi Yesus, cinta kasih dan pengampunan (yang diandaikan) dimiliki oleh elite politik dan elite agama Yahudi-Israel dan kolonialis Roma adalah syarat mutlak bagi terciptanya kemerdekaan, perdamaian, dan kedamaian. Jadi, Yesus yang cinta damai dan persaudaraan adalah antitesis kaum Zelot yang ingin mengangkat senjata melawan Roma. Inilah yang oleh Mahatma Gandhi disebut perjuangan tanpa kekerasan atau nonviolence alias ahimsa.
Ketika diminta pendapatnya tentang membayar pajak kepada Kaisar, dengan tegas Yesus mengatakan: “Berilah kepada Kaisar, apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mrk. 12: 17). Jadi, kewajiban membayar pajak kepada Kaisar adalah antitesis terhadap keyakinan Yahudi-Israel bahwa mereka harus hanya taat kepada YHWH (TUHAN) semata, sehingga lebih baik memberi derma kepada Kenisah atau Bait Allah daripada membayar pajak kepada Kaisar. Membayar pajak kepada Kaisar adalah penghinaan terhadap Allah, sang pemilik sah atas “tanah Israel”.
Para elite aristokrat Saduki yaitu para imam dan orang-rang Yahudi kaya raya memegang monopoli atas Bait Allah. Para imam diangkat oleh penguasa kolonial Roma. Ketika Yesus mengusir para pedagang yang berjualan di Bait Allah, tentu mereka marah dan meminta tanda dari Yesus untuk membenarkan tindakan-Nya mengusir para pedagang. Kata Yesus: ”’Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.’ Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: ‘Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?’ Tetapi yang dimaksudkann-Nya dengan Bait Allah ialah diri-Nya sendiri” (Yoh. 2: 19-21).
Jadi, Yesus adalah antitesis kaum aristokrat Saduki. Membangun Bait Allah dalam tiga hari adalah antitesis terhadap empat puluh enam tahun mendirikan Bait Allah. Diri Yesus sebagai Bait Allah adalah antiteis terhadap Bait Allah di Yerusalem. Maksud Yesus dengan tiga hari adalah kebangkitan-Nya dari antara orang mati setelah tiga hari Yesus wafat dan dimakamkan. Secara manusiawai Yesus dihukum mati di kayu salib akibat konspirasi politik para elite agama dan elite politik domestik-kolonial Yahudi-Romawi.
Akhirul Kata
Masih banyak pengajaran dan perbuatan Yesus yang bersifat antitesis, yang dapat pembaca simak sendiri dalam Injil. Inti renungan Natal 2022 ini adalah bahwa “amanat warta politik Kerajaan Allah yang disampaikan Yesus itu senantiasa bersifat paradoksikal-antitesis-kontradiktoris terhadap praksis politik dan kekuasaan yang diperlihatkan oleh para Herodian milenial dengan dampak bencana martabat kemanusiaan dan persadaraan global-nasional yang berdiri telanjang di depan mata dunia.
Hal ini menutut komitmen kemansiaan serius dari pihak para pemimpin agama dan para pemimpin dunia untuk menciptakan suatu tata dunia milenial yang damai, adil, sejahtera, dan saling menghormati serta saling mengasihi . Kesemuanya ini merupakan nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh semua agama di dunia dan para pemimpin dunia yang masih memiliki hati nurani kemanusiaan.
Selamat Natal 25 Desember 2022 dan Selamat Tahun Baru 01 Januari 2023. ***
Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Maumere, Flores, NTT.