banner 728x250
OPINI  

Refleksi Kritis Sila Pertama Pancasila

Peter Lewuk
banner 120x600
banner 468x60

Catatan : Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya akan buktikan bahwa kemahaesaan Tuhan justru karena Tuhan itu Ateis. Simak dengan teliti agar tidak gagal paham.

 Memasuki bulan Juni 2023 sebagai bulan Pancasila, saya ingin membagikan kepada Anda, sidang pembaca nan budiman, sebuah refleksi kritis singkat baik filosofis maupun teologis tentang Sila Pertama Pancasila berikut implikasi-implikasinya bagi praksis beragama dan bernegara.

banner 325x300

Namun terlebih dahulu saya harus tegaskan bahwa saya sama sekali tidak bermaksud mempromosikan ateisme, paham yang bertentangan dengan Pancasila dan paham yang ditolak oleh semua umat bergama. Juga jangan Anda mengartikan topik tersebut di atas dengan Pancasila mengajarkan ateisme. Sesungguhnya Pancasila menolak ateisme.

Maksud utama dari refleksi kritis ini adalah untuk mencegah praksis beragama yang merusak citra Tuhan karena menganggap Tuhan sama dengan agama dan bahkan menganggap Tuhan mempunyai agama serta Tuhan dan agamanya perlu dibela, baik dengan cara kekerasan verbal maupun fisik.

Juga untuk mencegah politisasi Tuhan dan agama demi kepentingan elektoral dengan memanipulasi minimnya literasi agama yang dimiliki sebagian besar masyarakat, apalagi pada masa-masa tahun politik ini. Demikian pula bagi mereka yang ingin belajar, maka kritik filosofis-teologis ini merupakan “latihan olah nalar”.

Selain itu, saya juga ingin memberikan kontrakritik atas kritik yang pernah dilontarkan oleh Bung Eggy Sudjana, seorang pengacara Muslim. Menurut pengetahuan Bung Eggy Sudjana, dari semua ajaran agama yang diakui di Indonesia, hanya Islamlah yang memiliki konsep tauhid atau meng-esa-kan Tuhan alias monoteisme (detiknews.com, 6 Oktober 2017). Meski sudah lama dikemukakan, tetap relevan dikritik, karena sewaktu-waktu dimunculkan lagi.

Pendapat Bung Eggy Sudjana tersebut dapat berimplikasi bahwa agama-agama nontauid bertentangan dengan Pancasila dan oleh karena itu tidak berhak hidup di Indonesia. Semoga saja tidak ada pihak yang berpikiran kurang cerdas seperti itu, dan semoga juga tidak ada orang yang menghendaki agar supaya agama-agama nontauhid tidak berhak hidup di Indonesia dengan dalih dan dalil tidak mengajarkan tauhid versi agama Islam.

Logika Filosofis

Sila pertama Pancasila adalah: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bila dikontekskan dengan ajaran tauhid atau monoteisme, maka frasa rumusan syahadat atau pengakuan iman tauhid adalah: “Tiada Tuhan selain Allah”. Tuhan dan Allah bukanlah dua entitas ilahi yang berbeda, melainkan hanya satu entitas ilahi saja. Dengan kata lain, Tuhan adalah Allah dan atau Allah adalah Tuhan.  Atau bila diucapkan dalam satu lafal-nafas, maka menjadi “Tuhan Allah”.

Nah, mari kita melakukan silogisasi frasa tauhid : ”Tiada Tuhan selain Allah”. Premis pertama adalah: Tuhan sama dengan Allah atau Allah sama dengan Tuhan. Atau juga Allah adalah Tuhan dan Tuhan adalah Allah. Premis kedua: Tiada Tuhan selain Allah atau Tiada Allah selain Tuhan. Ergo, jadi, Allah meniadakan Tuhan dan atau Tuhan meniadakan Allah. Ini berarti pula Tuhan meniadakan dirinya dan atau Allah meniadakan dirinya. Sama artinya dengan tidak ada Tuhan dan atau tidak ada Allah. Atau “Tuhan Allah itu tidak ada!”

Lantas pertanyaan pentingnya adalah: “Apa yang mau ditauhidkan atau di-esa-kan kalau tidak ada Allah dan tidak ada Tuhan?” Bukankah ini adalah “tauhid bunuh diri” alias Tuhan membunuh dirinya sendiri, atau Allah membunuh dirinya sendiri? Tuhan Allah meniadakan eksistensinya sendiri?

Bisa juga, lantaran manusialah yang mengucapkan pengakuan: Tiada Tuhan selain Allah, maka manusia meniadakan Tuhan dan meniadakan Allah. Manusia membunuh Tuhan dan manusia membunuh Allah. Ingat filsuf eksistensialis Nietzche (1844-1900), sang pembunuh Tuhan? Lantas kepada apa atau siapa manusia harus percaya atau beriman?

Jadi, secara logika filosofis, jika kita melakukan silogisasi frasa tuhid: Tiada Tuhan selain Allah, maka hasilnya adalah “tauhid bunuh diri”, itulah ateisme. Namun sebaliknya, tidak demikian dengan logika teologis berikut ini. Nah, sebagai latihan olah nalar, selanjutnya, Anda bisa mengelaborasikan sendiri tentang logika filosofis tauhid di atas!

Logika Teologis

Dari studi literatur, tentang apa yang saya sebut “Monoteisme-Trinitaris-Abrahamik” dapat diketahui bahwa kurang lebih dua setengah milenium lebih sebelum para filsuf eksistensialis di Eropa membuat kegaduhan filosofis soal “ateisme”, ternyata Tuhan sudah terlebih dahulu mendeklarasikan diri-Nya Ateis. Tuhan membela dan mempertahankan ke-Esa-an dan kemahakuasaan diri-Nya dengan cara “melarang” dan “meniadakan” politeisme yaitu tuhan-tuhan, ilah-ilah, allah-allah, dan berhala-berhala lain.

Jangan ada padamu allah-allah lain di hadapan-Ku,” tegas TUHAN (YHWH, baca Yahweh) kepada Nabi Musa (Kel. 20:3) di Gunung Sinai, paska Musa memimpin pembebasan Israel dari Mesir (kurang lebih 1446 sebelum Masehi) setelah Israel diperbudak selama 430 tahun oleh rezim Firaun.

Penegasan TUHAN tersebut kemudian dipertegas ulang oleh Yesus (Nabi Isa as.) kepada orang-orang Yahudi-Israel: “Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.” (Mrk. 12: 29). Dan, pada akhirnya Tuhan Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad SAW: “La illaha il Allah,” Tiada Tuhan selain Allah”. (QS. 47: 19) pada abad ketujuh Masehi.

Tiga teks wahyu dalam Alkitab dan Al-Quran terkutip di atas membuktikan bahwa Tuhan  memang “Ateis” sejati. Berdasarkan deklarasi diri Tuhan tersebut, maka saya mengatakan bahwa sejarah Tuhan bersama manusia makhluk ciptaan-Nya adalah sejarah pembuktian dan penegasan Diri Tuhan sebagai Ateis sejati berikut berbagai implikasi problematiknya yang rumit dan kompleks serta memusingkan kepala sepanjang sejarah, yang tentu saja tidak saya bahas dalam kesempatan ini.

Jadi, secara logika teologis, dengan melarang dan menolak allah-allah, tuhan-tuhan, ilah-ilah, dan berhala-berhala lain di samping atau di hadapan-Nya, TUHAN justru membuktikan diri-Nya Ateis sejati, Dengan tegas Tuhan memproklamasikan ke-Esa-an diri-Nya.

Bahwa Tuhanlah satu-atunya Allah, tiada yang lain. Tuhan menolak politeisme dan mengajarkan monoteisme melalui Musa, Yesus, dan Nabi Muhammad SAW untuk selanjutnya diajarkan kepada umat mereka masing-masing: Yahudi, Kristen, dan Islam. Baiklah, berikut ini hubungan antara Tuhan, agama, dan negara

Tuhan, Agama, dan Negara

Menurut saya, ada suatu pandangan atau pemahaman keliru yang mengidentikkan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan agama. Padahal Tuhan tidak dapat direduksi menjadi sama dengan agama. Juga tidak tepat kalau dikatakan Tuhan mempunyai agama dan agama-Nya harus dibela.

Agama adalah institusionalisasi wahyu ilahi yang diterima oleh manusia. Sebagai sebuah institusi, agama sangat diwarnai oleh kelemahan dan keterbatasan manusiawi, sebaliknya Tuhan mahasempurna. Dengan kata lain, agama dan/atau manusia beragama harus tunduk di bawah kedaulatan Tuhan dengan pesan-pesan wahyu ilahi-Nya.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat diartikan sebagai Tuhan sama dengan agama (karena memang Tuhan tidak sama dengan institusi agama), dan juga tidak berarti agama sama dengan negara. Dengan demikian, harus dikatakan bahwa agama maupun negara berada di bawah kedaulatan Tuhan.

Dalam konteks kehidupan bernegara, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dipahami sebagai berikut: Bahwa oleh karena manusia selain beragama juga bernegara, maka nilai-nilai agama dapat menjadi salah satu acuan atau referensi normatif-etis-moral dalam hidup bernegara. Tetapi acuan normatif di sini tidak berarti bahwa hukum dan/atau norma agama harus diadopsi mentah-mentah menjadi norma dan/atau hukum positif dalam kehidupan bernegara.

Pernah dalam sejarah mau dicoba agar negara mewajibkan umat Islam menjalankan syariat agamanya dengan memasukkan sebuah rumusan ke dalam sila pertama Pancasila yakni: “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Rumusan tujuh kata Ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”, 22 Juni 1945, ketika berlangsung Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Akan tetapi, tujuh kata ini kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, secara konsensus disepakati oleh para bapa dan ibu pendiri bangsa untuk “dihapuskan”, sehingga tidak menjadi dokumen hukum, melainkan hanyalah dokumen sejarah dalam naskah Rancangan Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan atas kedaulatan agama.

Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila di mana agama dan negara berada di bawah kedaulatan Tuhan, seraya agama dan negara saling seiring sejalan, saling memberi makna, dan saling menghargai, tetapi tidak saling mendominasi atau meniadakan.

Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa negara dan pemerintah Indonesia tidak berhak mewajibkan umat beragama menjalankan syariat dan ajaran agamanya masing-masing, karena bukan menjadi wilayah kewenangan negara dan pemerintah. Agama dan negara adalah dua otoritas entitas  otonom yang tidak  boleh dicampuradukkan satu sama lain.

Makna hakiki Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai acuan normatif di sini adalah bahwa dengan menghayati dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan yang diajarkan dalam agama, diharapkan agar masing-masing orang dalam setiap agama di Indonesia dapat menjadi seorang beragama yang baik sekaligus juga sebagai seorang warga negara Indonesia yang baik pula dengan mematuhi hukum dan konstitusi yang berlaku di negara Indonesia. Diandaikan pula bahwa setiap agama tentu saja mengajarkan umatnya melaksanakan semua hal yang baik dan benar,  sebaliknya mejauhkan semua hal yang jahat.

Termasuk mematuhi peraturan perundang-undangan sebagai “rambu lalu lintas” hubungan antarumat beragama di Indonesia agar tidak saling bertabarakan satu sama lain. Namun rambu-rambu itu jangan dibuat sedemikian rupa sehingga menyulitkan suatu agama untuk, misalnya, mendirikan rumah ibadahnya. Begitu pula, suatu agama, meski dia mayoritas, namun pengikutnya tidak berhak untuk melarang umat beragama lain untuk beribadah, kasus yang banyak diulang-ulangi di Indonesia dari waktu ke waktu.

 Cegah Totaliterisme Agama dan Negara

Perlu dipertegas lagi bahwa sekalipun negara berada di bawah kedaulatan Tuhan, tetapi itu tidak lantas berarti bahwa negara berada di bawah kedaulatan agama karena agama tidak sama dengan Tuhan. Demikian pula, jika dalam suatu negara terdapat sebuah agama mayoritas, lantas apakah agama mayoritas itu menuntut perhatian istimewa dari negara? Lalu apa dasar tuntutan perlakuan istimewa itu?

Saya berpendapat, sesungguhnya tidak ada dasar atau alasan yang nalar untuk mengistimewakan agama mayoritas. Artinya setiap agama dalam negara Pancasila sama-sama berhak atas “keadilan proporsional”. Mengistimewakan agama mayoritas dapat berimplikasi bahwa negara berada di bawah kedaulatan agama mayoritas. Bila ini yang terjadi, maka akan ada dua kemungkinan berikut.

Pertama, didorong oleh nafsu untuk berkuasa – dan ini manusiawi sekali, wajar, dan sah-sah saja – maka para elite agama dengan berbagai cara, baik konstitusional maupun inkonstitusional, akan “mengagamakan negara”, sehingga akan terbentuklah suatu “negara agama”. Ini akan menimbulkan kesulitan besar manakala dalam suatu negara terdapat pluralitas agama.

Kedua, bila telah tercipta negara agama, maka kemungkinan agama dan atau terutama para elite agama dengan tanpa legitimasi apa pun dapat berlaku sewenang-wenang dan totaliter terhadap orang beragama lain, hal ini bisa saja terjadi.

Apalagi totaliterisme agama itu selalu dicarikan dasar pembenarannya pada tafsiran sempit-naif manusia, yang menganggap diri memiliki kebenaran mutlak atau menganggap Tuhan sebagai monopoli atau hak milik mutlak atau hak paten agama yang bersangkutan. Sedangkan di luar itu divonis sebagai kafir dan haram.

Oleh karena itu, apa pun alasannya, aspirasi untuk mengagamakan negara ataupun aspirasi yang meminta negara mewajibkan pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agama masing-masing harus dengan tegas dicegah dan ditolak.

Meminta negara untuk mewajibkan pelaksanaan hukum agama, meskipun itu hukum agama masing-masing penganutnya, itu sama saja dengan  memberi peluang kepada negara bertindak totaliter terhadap agama atas nama kepentingan negara atau atas nama kepentingan kekuasaan.

Atau sama dengan memberi peluang kepada “kelompok atau golongan” tertentu untuk “memanfaatkan negara” atau dengan bekingan oknum penguasa negara, entah sipil ataupun militer, untuk menekan penganut agama lain demi tercapainya keinginan atau tujuan kelompok dan golongan tertentu itu.

Jadi, baik agama maupun negara harus dicegah dari bertindak totaliter, karena tindakan semacam ini bertentangan dengan hak asasi manusia atas kebebasan beragama. Seperti sudah dikatakan di atas, negara hanya berkewajiban menyediakan “rambu-rambu lalu lintas” hukum dan perundang-undangan bagi agama-agama agar mereka tidak saling bertabrakan. Sedangkan apa yang menjadi urusan agama, sebaiknya diserahkan kepada masing-masing agama.

 Toleransi Antarumat Beragama

Selain masalah hubungan antara agama dan negara, juga masalah yang perlu mendapat perhatian serius adalah masalah “toleransi antarumat beragama” di Indonesia. Seperti kita ketahui, di era reformasi ini sering terjadi masalah ketidakharmonisan antarumat beragama, yang tanda-tanda lahiriahnya dapat kita saksikan seperti kasus konflik yang pernah terjadi antara Islam dan Kristen di Maluku pada tahun 2000.

Juga konflik di Poso dan beberapa daerah di Jawa-Sumatera manakala terjadi pemboman dan penyegelan rumah-rumah ibadah serta pelarangan ibadah. Sebenarnya keharmonisan antarumat beragama di Indonesia bisa dibangun dengan baik, sehingga tidak terjadi konflik, kalau saja masing-masing umat beragama, terutama para elite pemimpin mereka, mengembangkan “budaya toleransi”.

Secara singkat dan tegas serta sederhana dan mudah dimengerti, saya merumuskan budaya toleransi itu sebagai berikut: “Jangan sibuk mengurusi agama dan keyakinan orang lain!  Bersibuklah dengan urusan agama dan keyakinanmu sendiri sesuai dengan yang diajarkan oleh agama dan Tuhan yang Anda imani, serta singkirkan jauh-jauh egoisme-agama Anda!”

Biasanya kesibukan mengurusi agama orang lain berakar dalam “keangkuhan religius” yang menganggap agama sendiri mahabenar dan agama-agama lain adalah kafir. Justru keagkuahan religius akan membuat Anda “memberhalakan agama” Anda dan mengabaikan Tuhan – sekalipun setiap saat Anda berteriak menyebut nama Tuhan Allah – hal mana menjadi alasan mengapa Tuhan akan menyangkal berhala yang Anda ciptakan.

Jika Anda sibuk menjadikan agama Anda sebagai ilah dan menyembahnya, maka itulah juga alasan mengapa Tuhan harus menjadi Ateis terhadap “ ilah dan berhala Agama” Anda, yang tidak ada artinya se-iota (setitik) pun dibandingkan dengan kemahakuasaan Tuhan.

Selain jangan sibuk mengurusi agama orang lain, juga rujukan terhadap Pancasila akan membuat Anda bersikap toleran dalam pergaulan antarumat beragama. Mengapa demikian? Karena  Pancasila menjamin orang Islam untuk hidup sebagai orang Islam tulen di Republik ini. Bahwa Pancasila menjamin orang Kristen untuk hidup sebagai orang Kristen tulen.

Bahwa Pancasila menjamin orang Katolik dapat hidup sebagai orang Katolik tulen di negara ini sebagainama terkenal dengan semboyan: Seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia. Dan, bahwa Pancasila menjamin orang Hindu dan Buddha serta orang Konghucu dapat hidup sebagai orang Hindu, Buddha, dan Konghucu tulen, begitu pula para penganut dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 Sila Pertama Hanya Untuk Tauhid?

Berkaitan dengan sila pertama Pancasila, ada sebuah pertanyaan menarik untuk dijawab yaitu: Apakah Ketuhanan Yang Maha Esa hanya cocok untuk dan atau mengimperatifkan hanya teologi monoteisme saja, sedangkan teologi non-monoteisme bertentangan dan atau tidak cocok dengan sila pertama Pancasila?

Dari realitas sejarah agama-agama di dunia, Islam adalah agama yang secara tegas dan eksplisit mengklaim menganut teologi monoteisme. Islam meng-esa-kan Allah dengan syahadat bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”. Lantas bagaimana dengan teologi Trinitas dalam agama Kristen dan Katolik? Bagaimana pula dengan peran para dewa-dewi yang diyakini dan dihayati di dalam Hindu, Buddha, dan Konghucu?

Pertanyaan ini harus dijawab dengan tegas dan jelas, sehingga kemudian tidak terjadi klaim dan monopoli hak paten terhadap Tuhan, serta mencegah tirani teologis oleh paham monoteisme dalam Islam terhadap non-monoteisme, yang akan berdampak negatif bagi komunikasi dan pergaulan antara berbagai umat bergama di Indonesia.

Menurut hemat saya, sila pertama dalam Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan dasar sekaligus jaminan bagi penghayatan religiositas dan spirituaitas yang bersifat universal dan eksistensial-personal bagi setiap manusia, dan itu berarti juga bagi setiap orang Indonesia.

Terhadap pangalaman religiositas dan spiritualitas, tidak boleh ada institusi atau otoritas manusia mana pun, entah negara, agama, dan atau penguasa, yang memiliki hak untuk mengadili dan memvonis orang lain untuk beriman hanya kepada satu Tuhan saja atau tidak. Jadi, soal monoteisme atau politeisme, juga teologi Trinitas, itu urusan agama masing-masing.

Hendaknya dihindari jauh-jauh keangkuan teologis dan kesombongan religius, yang sok mau mengambil alih peran Tuhan untuk berkomunikasi dengan setiap manusia ciptaan-Nya seturut kehendak dan hak prerogatif Tuhan sendiri. Menurut saya, Tuhan an sich adalah sang Mahamisteri yang tak terselami oleh akal budi manusia yang terbatas.

Hanya atas hak prerogatif dan inisiatif Tuhan sendirilah, maka Tuhan mewahyukan diri kepada manusia, dengan perantaraan orang pilihan yang disebut para nabi. Jawaban manusia kepada wahyu Tuhan disebut iman, kemudian dilembagakan dalam agama. Tuhan yang demikian itulah, yang saya sebut: Tuhan hasil teologisasi dan dogmatisasi oleh institusi dan otoritas agama mana pun di dunia ini. Selain itu, Tuhan juga berinisiatif menyapa menusia ciptaan-Nya dengan cara personal-eksistensial.

Apa Kata Bung Karno?

Akhirul kalam, simak apa kata Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI. Sebuah pidato yang dapat menghindarkan kita dari keangkuhan religius dan dari tirani teologis sebagai berikut: “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.”

“Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat Indonesia hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan”! ***

Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.

 

 

 

 

 

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *