Oleh Peter Lewuk
DALAM DUNIA POLITIK dikenal istilah “tujuan menghalalkan cara” atau the ends justify the neans” sebagaimana dikemukakan oleh Nikolaus Makhiaveli (1496-1527) diplomat, politikus, dan filsuf berekebangsaan Italia. Filsuf Jerman, Fredrich Nietzche (1883-1950) mengemukakan pendapatnya tentang der Wille zur Macht atau the Will to Power alias Kehendak untuk berkuasa, baik dalam arti positif yaitu menguntungkan orang lain maupun dalam arti negatif yaitu merugikan dan menyakiti orang lain.
Kehendak untuk berkuasa dalam arti negatif. Langsung atau tidak langsung, dikaitkan dengan sosok diktator terkenal Jerman Adolf Hitler (1889-1945) yang sezaman dengan Nietzche. Dalam dunia olah raga tinju, dikenal istilah “petinju petarung” alias fighter. Biarpun dihajar babak-belur oleh lawan, mata bengkak mengucurkan darah, jatuh-bangun berkali-kali, ia tetap semangat dan bertahan. Petinju jenis itu, ada yang menang berulang kali, tetapi ada juga yang kalah beulang kali.
Makhiavelisasi Politik
Pendapat dua filsuf dan analogi petinju petarung tersebut di atas, mirip dengan fenomena politik pemilu 2024 yang sedang kita saksikan hari-hari belakangan ini. Publik Indonesia sudah tahu bahwa ada tiga tokoh calon presiden atau Capres yang akan bertarung pada pemilu presiden atau pilpres tahun 2024. Yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Dari tiga tokoh itu, saya kira, publik setuju kalau dikatakan bahwa Prabowo Subianto adalah tipe “petinju politik petarung” yang selalu bersemangat tinggi, meski sudah dua kali kalah dalam pilpres. Beliau ingin bertarung kembali pada pilpres 2024 melawan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Dari sisi hak asasi manusia, saya menghargai hak politik beliau untuk kembali bertarung dalam pilpres 2024,
Meskipun demikian, sangat disayangkan, mohon maaf kalau saya salah, demi meraih kemenangan, Prabowo Subianto melancarkan taktik politik yang kurang elok, kalau bukan dikatakan kotor atau kasar. Ada semacam der Wille zur Macht yang hendak dicapai melalui praktik makhivelisasi politik, yang dari sudut psikologi kepribadian politik kekuasaan bersifat narsis-negatif seperti kata Nietzche.
Politik Perangko
Demi tercapainya der Wille zur Macht, Parabowo Subianto menerapkan taktik “politik perangko” alias nempel kayak perangko pada diri Presiden Joko Widodo. Baliho besar dipasang di mana-mana dengan menampilkan foto dirinya dan foto presiden. Dengan maksud membuktikan bahwa Presiden Joko Widodo merestuai dirinya menjadi presiden periode lima tahun mendatang.
Sayang sekali, tokoh sekaliber Prabowo Subiantor tampaknya kurang yakin akan kemampuan dirinya dan tidak mempu membuktikan dirinya sebagai seorang tokoh calon pemimpin puncak RI yang “berprinsip” Ia selalu berada di bawah bayangan Presiden Joko Widodo. Ke mana presiden pergi ke situ banyangan Prabowo Subianto menempel. Ini jurus “legitimasi bayangan presiden” yang dicarinya,
Politik perangko selanjutnya berimbas pada anggota keluarga presiden. Pertama adalah Wali Kota Solo, Mas Gibran Rakabuning Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Seperti dilaporkan TEMPO.co (12 Agustus 2023), Prabowo Subianto mempertimabngkan Mas Gibran untuk menjadi cawapresnya karena dinilai sebagai wali kota yang berprestasi meskipun usianya masih muda.
Adalah menarik bahwa koinsiden dengan pertimbangan menjadikan Mas Gibran sebagai cawapres, berlangsung pula uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi tentang batas usia minimum capres/cawapres dari 40 tahun tutun menjadi 35 tahun, cocok dengan usia Mas Gibran. Imbas kedua dari politik perangko adalah Ibu Negara, Iriana Joko Widodo, yang jadi korban isu propaganda untuk dijadikan cawapres Prabowo Subianto.
Matinya Budi Perkerti
Saya yakin mayoritas rakyat pencinta Presiden Joko Widido pasti menolak praktik makhiavesisasi politik terhadap keluarga presiden. Ini ibarat sudah masuk kamar keluarga presiden dan mengacak-acaknya dari dalam. Sungguh nafsu besar untuk berkuasa telah mematikan budi pekerti luhur. Sopan santun, tata krama adat ketimuran Indonesia dikangkangi demi kekuasaan. Atas nama demokrasi para pembenci presiden bebas mencaci dirinya dengan kata-kata kasar.
Sangat disayangkan ada Brutus politik dalam kabinet Presiden Joko Widodo pada periode kedua kepemimpinannya. Dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2023, presiden dengan pedas mengeritik praktik politik alibi terhadap dirinya yang disebut sebagai “lurah”, padahal dirinya adalah presiden Ri. Ia menolak politik restu dan politik arahan dalam kasus capres/cawapres karena masalah itu adalah urusan internal partai dan gabungan partai. Presiden bukan ketua umum partai politik
Rakyat Indonesia pantas dan layak bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan seorang mesias politik seperti Presiden Joko Widodo. Mesias politik dalam konteks ini berarti sosok seorang tokoh pemimpin politik yang mencintai dan melayani rakyatnya. Pemimpin yang satu ini dihina dan “diludahi” dengan kata-kata kasar, namun ia panjang sabar.
Bagi beliau, mengurus rakyat jauh lebih penting daripada menggubris politik alibi terhadap dirinya, juga cacian tidak berberikemanusiaan yang diterimanya. Apalagi tidak ada alasan yang nalar untuk sedemikian benci kepaada Presiden Joko Widodo seperti dilakukan oleh orang-orang yang mukanya itu-itu saja hanya demi mendukung der Wille zur Macht.
Cerdas Memilih
Dalam pidato menyambut bergabungnya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional dengan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa, Prabowo Subianto dengan penuh gairah dan berulang kali meminta izin dari rakyat agar mereka bisa berkuasa. “Kami ingin berkuasa,” tegas Prabowo. Yang dicari Prabowo Subianto adalah menjadi “penguasa”, bukan menjadi pemimpin.
Golkar dan PAN yang sebelumnya beerpura-pura bergabung dengan PDI Perjuangan tersihir rayuan politik maut perihal bagi-bagi kue kekuasaan yang ditawarkan Prabowo Subianto dan Gerindra. Kedua partai itu balik badan meninggalkan PDI Perjuangan. Begitulah politik. Tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik. Yang ada hanyalah kepentingan. Bila kepentingan sama, menjadi kawan. Bila kepentingan tidak sama, menjadi lawan.
Oleh karena itu kita berharap agar rakyat Indonesia cerdas menjatuhkan pilihan politiknya. Memilih capres yang mempunyai nafsu besar untuk berkuasa atas rakyat ataukah memilih capres yang akan menjadi pemimpin yang mengayomi dan melayani rakyatnya.
Memilih capres yang akan menjadi “tuan penguasa” untuk dilayani rakyat? Atau sebaliknya memilih capres yang akan menjadikan rakyat sebagai “tuan” yang akan dilayani oleh sang presiden? Rakyat yang cerdas tentu akan memilih capres yang akan menjadikan rakyat sebagai tuannya untuk dilayani.
Ada beda antara penguasa dan pemimpin. Penguasa lebih mementingkan kekuasaan demi dirinya dan kroni-kroninya, dan ini telah dibuktikan oleh sejarah selama Orde Baru. Sebaliknya, pemimpin lebih mengutamakan pelayanan kepada rakyat dan mengayomi mereka.
Belajar dari Sejarah
Bung Karno pernah berkata tentang JAS MERAH alias jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah Orde Baru mengajarkan kepada kita tentang banyaknya pelanggaran HAM baik berat ataupun ringan, melalui tangan para oknum tentara algojo, demi melayani nafsu berkuasa alias der Wille zur Macht.
Orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat perlu mengajarkan kepada generasi muda agar cerdas menentukan pilihan politik dalam pilpres. Ditegaskan ulang, Indonesia tidak butuh “penguasa”, melainkan “pemimpin.pelayan rakyat”. Indonesia tidak butuh ahli pidato tetapi “ahli kerja” demi kesejahteraan dan kemakmura rakyat.
Ingat 21 tahun lagi Indonesia Emas akan tiba. Jangan salah memilih para pemimpin dalam empat kali pemilu yang akan datang. Salah memilih pemimpin akan berakibat Indonesia akan tetap menjadi negara berkembang di tempat dan tidak bisa menjadi negara maju. Negara maju lain akan menguasai Indonesia sebagai negara tetap berkembang di tempat. Semoga hal ini tidak terjadi.***
Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.