Oleh Peter Lewuk
Nubuat adalah prediksi tentang sesuatu realitas, tampilnya seorang tokoh, kejadian penting, atau peristiwa historis yang akan tergenapi pada masa yang akan datang atau di kemudian hari. Dalam konteks pengertian nubuat seperti itulah, saya ingin merefleksikan “Nubuat Bung Karno Tentang Kemerdekaan Indonesia”, ketika Bung Karno berjuang bersama para tokoh pejuang, para Bapa dan Ibu Bangsa, para pahlawan beserta seluruh rakyat Indonesia di zaman penjajahan hampir seabad silam.
Pada tahun 1933 Bung Karno menulis sebuah risalah tentang “Mencapai Indonesia Merdeka”. Dalam risalah itu Bung Karno menubuatkan tentang “Kemerdekaan Sebagai Jembatan Emas”. Menurut Bung Karno, jembatan emas itu merupakan suatu “kemunginan” sekaligus “ketidakpastian”. Namun, di seberang jembatan emas kemerdekaan itulah, masyarakat bangsa Indonesia akan ditata dan disempurnakan. Bung Karno juga menubuatkan bahwa di seberang “jembatan emas kemerdekaan” itu akan ada jalan yang terbagi dua. Yang satu jalan menuju ke dunia “sama rata sama rasa”. Yang lainnya jalan menuju dunia “sama ratap sama tangis”. Ada lagi nubuat lainnya yang juga menarik. Bung Karno mengatakan: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Bukti dan referensi historis yang ditunjuk Bung Karno adalah Revolusi Prancis. Setelah rakyat Prancis berjasa berjuang menumbangkan rezim para raja yang lalim, bengis, dan absolut, otoriter, maka yang menikmati hasil perjuangan revolusioner takyat Prancis adalah justru kaum borjuis, kapitalis, feodal, yang kembali menindas dan menghisap rakyat Prancis. Paska Revolusi Prancis, rakyat hanya menjadi “pengupas kulit nangka” sambil terkena getahnya, sementara yang menikmati isi nangka yang kuning dan enak itu adalah kaum borjuis, kapitalis, dan feodal.Itulah ibarat yang dikatakan Bung Karno tentang nasib rakyat.
Emas Sebagai Simbolisasi
Selain analogi yang digunakan Bung Karno untuk “kemerekaan sebagai jembatan emas”, saya juga ingin memaknakan analogi emas itu sebagai “simbolisasi” untuk Indonesia sebagai sebuah negeri yang luas dan kaya-raya akan sumber daya alam, baik di darat, laut, maupun udara. Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan fauna dan flora. Ada lima pulau besar (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua) beserta ribuan pulau-pulau sedang dan keil-kecil, yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote.
Sebuah negara maritim dengan laut-luatnya yang luas dan dalam dipenuhi aneka ragam ikan dan udang, sumber daya mineral bawah laut, aneka ragam keindahan taman bawah laut. Begitu pula daratan yang luas ditutupi hutan rimba raya, penuh dengan hasil-hasil hutan seperti kayu, rotan, damar, dan sebagainya. Belum lagi daratan yang mengandung sumber daya mineral, gas, dan panas bumi dan sebagainya. Berjenis-jenis rempah seperti cengkeh, pala, lada, dan sebagainya. Begitu pula ruang udara dan angkasa yang luas untuk aktivitas kedirgantaraan. Indonesia adalah negeri dua musim, panas dan hujan, yang cocok dan sangat bermanfaat bagi para petani dan nelayan. Indonesia diapiti oleh Benua Asia dan Benua Australia, serta Samudera Hindia dan Pasifik. Indonesia juga dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia karena hutan rimba raya topisnya yang luas.
Letak geografis “negeri emas” yang kaya-raya dan strategis itu, jelas sangat menggoda bangsa penjajah untuk mendapatkan kekayaan alam Indonesia di zaman kolonialisme dan imperialisme silam. Bgitu pula, di zaman Indonesia merdeka, banyak negara maju yang bernafsu berinvestasi modal, teknologi, dan tenaga ahli demi keuntungan dan kemanfaatan bagi mereka, sehingga suka atau tidak suka, disadari atau tidak disadari, pasti terjadi apa yang disebut neoimperialisme dan neokolonilasime yang dibalut dan dirasionalisasi dengan kata-kata mentereng seperti: globalisasi, global village (dusun global), borderless world (dunia tanpa batas), pasar global atau pasar bebas, era digitlisme dan metaverse. Apalagi modus operandi penjajahan gaya baru itu serba halus, menarwarkan hal-hal yang menyuburkan gaya hidup konsumtif dan mematikan kreativitas, serta tidak langsung menyengsarakan dan mematikan.
Proklamasi Kemerdekaan
Ketika Jepang menyerah pada Sekutu akibat jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hirosima, 9 Agustus 1945, maka Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Perjuangan melawan penjajah pun mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945, suatu momentum historis monumental, yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia, pukul 09.45 WIB, bertempat di Jalan Pengangsaan Timur 56, kediaman Bung Karno.
Bulan-bulan sebelumnya, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menyelenggarakan sidang-sidang dari 29 Mei hingga 17 Juli 1945. Pada 1 Juni 1945, dalam pidatonya yang disambut selingan tepuk tangan meriah para peserta sidang, Bung Karno mencetuskan philosophische grondslag negara Indonesia yang terkenal dengan nama “Pancasila”. Sementara itu, pembahasan terpenting dalam sidang-sidang BPUPKI adalah Rancangan Konstitusi Proklamasi yang kemudian dikenal dengan sebutan “UUD 1945”, yang oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) disahkan pada 18 Agustus 1945 sekaligus Bung Karno dan Bung Hatta diangkat masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Penting untuk menyegarkan kembali pengetahuan dan penghayatan kita sebagai warga negara Indonesia, maka di sini saya kutipkan Naskah Pembukaan UUD 1945. Alinea pertama mengegaskan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjejahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikedilan.”
Alinea kedua menegaskan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Alinea ketiga menegaskan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya bekehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”
Alinea keempat menegaskan: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dalam alinea keempat tercantum dasar filsafat negara Indonesia yaitu Pancasila, sekalipun kata Pancasila tidak tertulis secara eksplisit. Dengan demikian, maka paska proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi “paradigma pembangunan nasional Indonesia”, bukan ideologi-ideologi lain yang dijadikan sebagai paradigma pembangunan nasional dalam rangka mengisi kemerdekaan.
Paradoks Kemerdkaan
Beberapa poin nubuat Bung Karno tersebut di atas benar-benar tergenapi pada era paska proklamasi kemerdekaan. “Kemerdekaan sebagai jembatan emas”, yang oleh Bung Karno disebut “kemungkinan” memang merupakan peluang terbuka lebar dan luas bagi permintah dan rakyat Indonesia untuk melaksanakan pembangunan nasional di segala bidang demi mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Namun sisi paradoksnya, yang oleh Bung Karno disebut “ketidakpastian”, itu benar-benar terjadi dan dialami pemerintah dan rakyat Indonesia sejak zaman Bung Karno hingga dewasa ini.
Sepanjang masa Orde Lama-Soekarno, kemungkinan dan peluang untuk membangun Indonesia menjadi tidak kondusif sehingga proses pengisian kemerekaan melalui pembangunan tidak dapat berjalan lancar. Karena Bung Karno dan Bung Hatta masih harus mengonsolidasikan kemerdekaan yang masih muda usianya, apalagi terjadi dua kali agresi militer Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia; kabitnet pun bergonta-ganti; ideologi Pancasila dan Konstitusi Proklamasi kurang menjadi referensi praksis kepemerintahan.
Pecahnya dwitunggal Bung Karno-Hatta; juga terutama karena terjadi konflik politis-ideologis-tripolar berkepanjangan antara kaum nasionalis, kaum agama, dan kuam komunis yang berujung pada prahara politik 1965; Program pembangunan semesta berencana yang dicanangkan pemerintah Presiden Soekarno pun tidak berjalan sesuai harapan. Semuanya itu benar merupakan “kemungkinan” sekaligus “ketidakpastian” seperti dinubuatkan Bung Karno.
Memasuki zaman Orde Baru-Soeharto, “jembatan emas kemerdekaan” sebagai “kemungkinan” dan peluang untuk membangun bangsa dan negara ini, benar-benar terjadi. Presiden Soeharto bertekad agar Pancasila dan UUD 1945 menjadi paradigma pembangunan nasional. Ini terbukti dari “tesis pembangunan” yang dipremiskan oleh pemerintah Presiden Soeharto yaitu “Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia”.
Rumusan operasional tesis ini tertuang dalam GBHN, kemudian praksis pembangunannya melalui Repelita/Pelita (Rencana Pembangunan dan atau pelaksanaan pembangunan lima tahun). Ini berlansung selama tiga puluh dua tahun dan memang ada keberhasilan-keberhasilan nyata dari pembangunan nasional selama rezim Soeharto. Namun, paradoksnya adalah pencapaian pembangunan itu disertai dengan indoktrinasi ideologis dan budaya politik yang bercorak militeristik dan represif, sehingga saya pernah mengeritik bahwa Soeharto menerapkan “ideologi diktaturisme pembangunan”.
Memasuki zaman Reformasi, apa yang terjadi adalah justru rezim-rezim Reformasi sangat sukses melakukan liberalisasi secara kebablasan. Terutama di bidang ideologi dan konstirusi serta politik dan ekonomi. Para elite politik komprador dan LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) komprador warisan Orde Baru (tetapi mengaku diri reformis) berhasil melaksanakan agenda asing untuk Indonesia. Terjadi pendegradasian dan pereduksian ideologi Pancasila melalui Empat Amandemen UUD 1945, yang menghasilkan dualisme konstitusi alias ada dua UUD yang sah berlaku yaitu Konstitusi Proklamasi (UUD 1945) dan Konstitusi Reformasi (UUD 2002).
Liberalisasi politik menghasilkan ratusan partai politik yang ingin berlaga dalam permilu awal reformasi (1999). Kemudian puluhan partai yang ikut bertarung dalam pemilu-pemilu selanjutnya (2004, 2009, 2014, 2019, 2024). Munculnya banyak partai politik di era reformasi dibangga-banggakan sebagai pertanda berkembang suburnya demokrasi yang selama Ore Baru dibreidel olen rezim. Tetapi bagi saya, sebaliknya kontraproduktif dan hanya membingungkan rakyat pemilih. Apalagi ada partai politik dan para elite politiknya yang berkinerja tidak sesuai harapan rakyat.
Liberalisasi ekonomi jelas sangat berhasil menjalankan agenda ekonomi kapitalisme global yaitu “The Anglo-American (Anglo-Saxon) Capitalism” (Amerika cs.), “The European Capitalism”, dan “The Yellow Capitlism” (terutama Cina, plus Jepang dan Korea). Meskipun belangakan Presdien Joko Widodo menegaskan “tesis pembangunan” yang dikenal dengan “Pancasila sebagai the Working Ideology” yang menyiratkan dan mengimperatifkan “Ideologi Ekonomi Pancasila”, namun praksisnya dikendalikan oleh ideologi-idelogi ekonomi asing tersebut di atas, apalagi sangat dipermudah oleh digitalisasi ekonomi global. Ini adalah peluang atau “kemungkinan” sekaligus “ketidakpastian” sebagaimana diinubuatkan oleh Bung Karno. Apalagi seperti dikatakan oleh Presien Joko Widodo dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2022. Bahwa dunia tengah diliputi oleh ketidakpastian akibat pandemi covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan resesi ekonomi global yang bakal terjadi tahun depan (2023).
Dengan gambaran singkat latar belakang zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, saya tidak hendak menilai siapa yang salah dan siapa yang benar. Itu “kata fakta sejarah” yang tidak bisa disangkal, tetapi dapat ditarik hikmahnya. Selanjutnya, mari kita kembali ke kondisi “paradoks kemerdekaan” seperti yang dinubuatkan Bung Karno tentang terjadinya dua dunia di seberang “jembatan emas kemerdekaan”
Sebagaimana diketahui, dalam pidatonya itu Presiden Joko Widodo meminta seluruh rakyat Indonesia untuk patut bersyukur atas pencapaian-pencapaian pembangunan yang kita alami sekarang ini, terutama pertumbuhan ekonomi kita di kisaran 5, 4 persen. Saya tidak ingin menilai isi pidato presiden, karena saya bukan ahli ekonomi, tapi sebagai rakyat saya hanya ingin melihat tergenapinya nubuat Bung Karno.
Sudah tujtuh puluh tujuh tahun Indonesia merdeka, namun paradoks kemerdekaan tetap terjadi. Jurang antara dua dunia tetap ada dan cenderung fluktuatif melebar dan atau menyempit, tergantung konteks kondisional antara kepastian dan ketidakpastian secara nasional maupun internasional. Fakta dan data yang dapat kita lihat dengan mata telanjang, tanpa membaca hasil kajian Badan Pusat Statistik, adalah bahwa “dunia sama rata sama rasa” dihuni oleh para warga “kelas atas” yaitu para elite kekuasaan, elite militer, elite kepolisian, elite politik, kaum bangsawan, dan para konglomerat. Selain itu dihuni oleh para warga “kelas menengah” antara lain para pegawai negeri, karyawan perusahaan besar, kaum profesional, para pengusaha skala menegah, dan sebagainya.
Sebaliknya, “dunia sama ratap dan sama tangis” dihuni oleh para warga “kelas bawah” garis kemiskinan, kaum hina dina dan miskin papa. Terutama mereka yang oleh pemerintah diberi cap sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) terutama di kota-kota besar. Seperti: gelandangan, pengemis, pemulung barang bekas, juru parkir liar, orang terlantar, orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), yang kucing-kucingan dengan Satpol PP. Juga “dunia sama ratap sama tangis” dihuni oleh para warga miskin di kota-kota kecil maupun di desa-desa dan kampong-kampung.
Kepada para warga kelas yang satu ini, jangan Anda tanya apa arti kemerdekaan bagi mereka. Bagi orang-orang miskin akibat ketidakadilan struktural, kemerdekaan itu tidak ada artinya. Bagi mereka, yang penting rutinitas keseharian. Satu contoh soal saja, pada pagi hari, si pemulung mulai mendorong gerobaknya mencari barang bekas dan rongsokan, kemudian malam hari gerobak disulap menjadi “ rumah dan tempat tidur empuk”. Si pemulung pun tidur dengan sangat nyenyaknya karena kecapaian rutinitas sehari-hari.
Akhirul kalam, memang benar nubuat Bung Karno yang satu lagi: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Silahkan memaknakan sendiri apa maksud Bung Karno dengan nubuat demikian. Saya hanya kasih satu contoh soal saja, yaitu betapa tidak mudah perjuangan politik dan hukum untuk melawan kerakusan oknum penjabat penguasa, onum pejabat pemerintah baik sipil maupun militer, oknum elite politik, serta oknum pengusaha, agar tidak melakukan korupsi, karena korupsi adalah pelanggaran hak asasi rakyat atas kemerdekaan ekonomi dan pelanggaran hak rakyat untuk hidup sejahtera. Mereka!***
Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.