banner 728x250
OPINI  

MPR dan MK, “Mutatis Mutandis” (2)

Peter Lewuk
banner 120x600
banner 468x60

Oleh Peter Lewuk

Sebagai pengusul MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara, izinkan saya mempresentasikan pemikiran saya secara singkat tentang MPR dan MK (Mahkamah Konstitusi), dua lembaga mutatis mutandis dan dalam arti apa pula keduanya tidak mutatis mutandis?

banner 325x300

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dan menganut sistem demokrasi konstitusional. Adapun landasan filosofis-ideologis-konstitusional sistem tersebut terdapat pada sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/ perwakilan”. Juga terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.

Kerakyatanan sich intrinsik mengandung imperatif kategoris politik bahwa rakyatlah yang menjadi sumber kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di bawah kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa (sila Pertama Pancasila). “Dipimpin oleh himat kebijaksanaan” mengimperatifkan bahwa kedaulatan dan kekuasaan rakyat itu didasarkan pada dan dipimpin oleh rasionalitas dan moralitas demokrasi, yang tanpa keduanya itu, maka kekuasaan akan menggila.

Permusyawaratan/perwakilan” mengimperatifkan bahwa kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu harus diimplementasikan dan diaktualisasikan secara representatif-kelembagaan yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang memiliki dua dimensi otoritas kewenangan utama yaitu: Pertama, membuat UUD. Kedua, mengubah atau mengamandemen UUD, di samping tupoksi-tupoksi penting lainnya.

Dalam sejarah perkembangan implementasi kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat paska rezim Orde Lama dan Orde Baru, terjadilah “Gerakan Reformasi 1998” dengan agenda antara lain: menuntut MPR era Reformasi melakukan amandemen UUD 1945 Asli sebagai antitesis terhadap rezim lama yang melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan, hal mana bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.

Dalam rangka amandemen itu, selain mengamandemen ayat-ayat UUD 1945 Asli, MPR Reformasi juga menghasilkan Ketetapan atau Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang “Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan”. Dalam Pasal 5 Ayat (1) Tap MPR tersebut di atas dikatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwewenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR.”

Dalam pada itu dinamika dan dialektika politik sepanjang Januari hingga Juli 2001 diwarnai oleh perseteruan antara Presiden Abdurraham Wahid alias Gur Dur dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), yang berakibat pemakzulan atau pelengseran (impeachment) terhadap Gus Dur. Kejadian ini kemudian memunculkan gagasan untuk mempersulit pemakzulan presiden.

Maka dari itu, ketika melakukan amandemen ketiga UUD 1945 Asli, MPR Reformasi merasa ada kebutuhan mendesak untuk meciptakan sebuah lembaga baru yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK) seperti tercantum dalam Bab IX Pasal 24 Ayat (2) UUD Perubahan tentang Kekuasaan Kehakiman. MPR juga mendelegasikan otoritas kewenangannya menguji UU terhadap UUD 1945 sesuai Tap MPR Nomor III/MPR/2000, kepada MK.

Selain kewenangan utama tersebut di atas, MK juga dapat memberikan semacam pendapat atau pertimbangan konstitusional terhadap usulan DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) berkaitan dengan pemakzulan presiden, apabila presiden melanggar konstitusi. Meskipun demikian, tidak semudah membalik telapak tangan untuk melengserkan presiden karena prosedur pelengseran dibuat sangat ketat.

 “Mutatis Mutandis”

Dengan dua otoritas kewenagan tersebut dan kewenangan-kewenangan lainnya, maka MK pun menjadi lembaga pengemban supremasi konstitusi sebagai hukum tertinggi kedaulatan rakyat. Jadi, menurut saya, dalam konteks “supremasi” itulah, maka secara filosofis-substansial dan konstitusional-yuridis, suprenasi kedaulatan rakyat mutatis mutandis (“dengan sendirinya”) supremasi konstitusi. Atau supremasi konstitusi mutatis mutandis supremasi kedaulatan rakyat.

Konstitusi lahir dari rasionalitas kedaulatan rakyat untuk mengatur penatalaksanaan kedaulatan rakyat dalam praksis kehidupan bernegara dan berpemerintahan demi bonum commune yaitu kebaikan dan kesejahteraan bersama hidup rakyat itu sendiri.

Lantaran itu, dapat dikatakan pula bahwa supremasi konstitusi mutatis mutandis atau dengan sendirinya sehakiat supremasi kedaulatan rakyat. Sederhananya begini, berbicara tentang supremasi konstitusi adalah berbicara tentang supremsi kedaulatan rakyat.

Sebaliknya secara kelembagaan, MPR “tidak” mutatis mutandis MK, meski keduanya pengemban supremasi kedaulatan rakyat dan supremasi konstitusi. Mengapa? Karena secara struktur hierarkial kelembagaan hanya ada satu lembaga tertinggi, bukan dua lembaga yang sama-sama tertinggi.

MPR adalah lembaga tertinggi negara, “pemilik otoritas asli” yakni membuat UUD dan mengamandemen UUD, kemudian MPR menciptakan lembaga MK menjadi ada dan diberti otoritas kewenangan menguji Undang-Undang terhadap UUD serta mengemban dan menjaga supremasi konstitusi.

Adapun status MK adalah sebagai lembaga tinggi negara, yang independen otonom di samping bawah MPR sekaligus di atas DPR, DPD, Presiden, dan MA (Mahkamah Agung). Sebagai lembaga yang diciptakan oleh MPR, tak mungkin MK menjadi lembaga tertinggi sejajar MPR.

Akan tetapi. mengingat tidak ada otonomi mutlak, maka berlakulah prinsip “otonomi korelasional” antara MK dan MPR dalam semangat check and balance. MPR menjadi lembaga penyeimbang terhadap pengawasan MK atas DPR, DPD, Presiden, dan MA berkaitan dengan penatalaksanaan kekuasaan legislatif (DPR dan DPD), kekuasaan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan kekuasaan yudikatif (MA dan Komisi Yudisial). Terutama menguji peraturan perundang-undangan yang dihasilkan lembaga-lembaga kekuasaan, apabila terjadi sengketa antarlembagaan.

Selain itu, hal penting lainnya bagi MPR adalah: Sebagai lembaga tertinggi negara,  MPR berweweang melakukan supervisi dan pengawasan atas seluruh jalannya penatalaksanaan kedaulatan rakyat oleh lembaga legislatif (DPR dan DPD), lembaga eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan lembaga yudikatif (MA dan Komisi Yudisial).

Dengan demikian, sekali lagi, hilanglah kesan selama ini bahwa MPR nonjob secara rutin setiap hari kerja. Kerja supervisi adalah kerja rutin harian. Inilah yang harus diatur ulang ketika MPR telah kembali menjadi lembaga tertinggi negara.

Dari seluruh rangkaian supervisi dan pengawasan baik oleh MPR maupun oleh MK sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas, maka apabila masih terjadi penyalahgunaan kekuasaan pada setiap bidang kekuasaan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara, maka hal itu suatu kejahatan politik dan kejahatan kekuasaan yang luar biasa dan tidak dapat ditoleransi oleh rakyat, sang pemilik kedaulatan.

 Jabatan Legislator, “Kekal”?

Ketika melakukan amademen UUD 1945, tampaknya dimensi fundamental “Pembatasan Masa Jabatan Legislator” belum sempat dipikirkan. Atau mungkin sengaja untuk tidak dipikirkan dan diaktualkan oleh MPR Reformasi karena menyangkut kepentingan diri mereka sendiri. MPR Reformasi hanya membatasi masa jabatan eksekutif yaitu presiden untuk dua periode saja, yang juga berimplikasi terhadap jabatan gubernur dan bupati/walikoita. Sedangkan masa jabatan legislator baik pusat mapun daerah dibiarkan sampai “kekal”?

Akibat tidak adanya pembatasan masa jabatan legislator, maka para elite pimpinan partai politik “mengakali” supaya ada legislator yang sampai “berlumutan” di atas empuknya kursi kekuasaan legislatif, entah karena nepotisme ataupun karena kolusi politik antara legislator dengan pimpinan atau pemilik partai politik, agar selalu dicalonkan setiap kali pemilu dan selalu menang lalu kembali bertengger di atas kursi legislatif.

Inilah salah satu akibat negatif dari pemilu dengan sistem proporsional tertutup di mana caleg ditentukan dengan pertimbangan kepentingan subjektif-nepotis-kolusif oleh para elite pimpinan partai. Akibat selanjutnya, kualitas performa legislator mengalami degradasi atau penurunan karena dimakan usia.

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar dalam melakukan supervisi empat amandemen, klausul pembatasan masa jabatan legislator harus diadakan dan diadendumkan kepada UUD 1945 Asli. Usulan rumusan klausul untuk legislator DPR adalah sebagai berikut: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat mencalonkan diri kembali melalui partai politik hanya untuk satu kali masa jabatan.” [Pasal 19 Ayat (1)].

Demikian pula halnya dengan pembatasan masa jabatan legislator Dewan Perwakilan Daerah sebagai berikut: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum untuk masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat mencalonkan diri kembali dari provinsi yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. [Pasal 22 C Ayat 1).

Pembatasan masa jabatan legislator juga untuk memberikan kesempatan bagi anggota warga masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pemerintahan dengan menjadi anggota legislator baik di DPR maupun DPD. Tentu dengan memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan tentang partai politik maupun tentang pemilu legislatif.

 Tahun Krusial

Diskursus politik tentang supervisi empat amandemen UUD 1945 dengan tujuan untuk antara lain mengembalikan posisi MPR menjadi lembaga tertinggi negara pengemban supremasi kedaulatan rakyat dan MK sebagai lembaga otonom pengemban supremasi konstitusi, dan pembatasan masa jabatan legislator, serta mengembalikan Utusan Golongan kepada MPR; semuanya itu akan menjadi kenyataan ataukah tidak, hal itu tergantung pada political will pemerintahan baru hasil pemilu 2024.

Oleh karena itu tahun 2024 sangat krusial dan akan menentukan ke mana arah perjalanan bangsa dan negara ini. Apakah rakyat akan mendapatkan seorang mesias politik atau sang pemimpin penyelamat bangsa dan negara dengan karakter kepemimpinan, antara lain, berani dan bernyali seperti diharapkan Presiden Joko Widodo ketika memberikan pengarahan pada rapat kerja nasional ketiga PDIP, Jakarta, Juni 2023?

Termasuk antara lain berani dan bernyali memprakarsai konensus nasional untuk membentuk Panitia Negara Supervisi Empat Amandemen UUD 1945 yang kini hampir seperempat abad usianya? Apakah pemimpin puncak yang dihasilkan pemilu presiden itu memiliki komitmen kuat tak tergoyahkan akan kesepakatan nilai-nilai fundamentalia berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika?

Ataukah pemimpin yang mudah didikte kepentingan asing dan kepentingan kelompok-kelompok intoleran, fanatik, radikalis, ekstremis, fundamentalis, dan primordialistik dalam negeri sendiri? Pertaruhannya amat mahal. Apakah kita akan menjadi bangsa besar dan maju serta disegani bangsa lain?

Ataukah sebaliknya akan menjadi bangsa dan negara gagal bila memilih pemimpin yang salah?  Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial tersebut di atas, maka seluruh rakyat pemilih hendaknya juga berani dan bernyali, digerakkan oleh hati nurani dan akal sehat, untuk menentukan pemimpin Indonesia yang tepat, berani, dan bernyali lima tahun ke depan dan selanjutnya.***

Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *