banner 728x250
OPINI  

Mengalah Sambil Menang, Menafsir Kode Politik Elit

Peter Lewuk
banner 120x600
banner 468x60

SEBELUM membaca dan mencoba manafsir kode politik para elite politik kita, ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan beberapa fenomena budaya politik kontraprouktif-antidemokrasi, yang masih kental dipraktikkan selama era reformasi ini. Anda suka atau tidak suka, Anda merasa tersingging atau tidak tersinggung, namun inilah fakta dan fenomenanya: Budaya politik korupsi tetap subur, feodalime berbentuk bapakisme dan ibuisme, wayangisme politik dan dalangisme politik, king makerism and queen makerism, serta hak prerogatifisme, semuanya itu merupakan soft authoritarianism alias otoriterisme malu-malu.

Semua budaya politik kontraproduktif-antidemokrasi tersebut, di tahun politik ini, semakin ramai oleh kegemaran para elite politik memamerkan kode-kode politik, politik simbol, politik tanda, politik gestur, gimik politik, politik kemasan, dan politik pencitraan. Semuanya itu dirasionalisasi dengan istilah-istilah mentereng seperti: silaturahmi politik, safari politik, kangen bertemu kawan lama, dan lobi politik yang berbalut keikhlasan pura-pura alias kemunafikan atau hipokrit, tidak alami. Semuanya itu hanya dimotivasi oleh satu kepentingan utama, yaitu “kekuasaan”, baik untuk mereka yang berusaha keras meraihnya karena belum pernah mendapatkannya, maupun untuk mereka yang ingin tetap mempertahankan kekuasaan yang telah digengamnya untuk beberapa lama. Tinggal saja yang bingung dan bengong adalah rakyat yang menyaksikannya. Mungkin juga ada yang menertawakannya.

banner 325x300

Menangkan Negara Pancasila

Baiklah, berkaitan dengan kode politik Presiden Joko Widodo, yang belakangan ini sinyalnya tampak menguat pada dua tokoh yaitu Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, saya ingin mencoba membaca dan menafsirkan kode politik tersebut dengan menggunakan idiom: “Mengalah Sambil Menang”. Ini berlaku baik untuk PDIP dan Ganjar Pranowo (bila positif dicalonkan oleh PDIP), maupun berlaku untuk Partai Gerindra dan Prabowo Subianto. Dengan catatan penting tergantung hasil lobi, konsensus, dan komitmen politik antara pihak PDIP dan Partai Gerindra.

Bila pasangan capres-cawapresnya adalah Prabowo-Ganjar, maka hal itu berarti PDIP “mengalah” untuk posisi presiden sambil “menang” sebagai partai mayoritas utama di parlemen. Dalam semangat gotong-royong, bukan monopoli kekuasaan, PDIP bisa berbagi dengan Partai Gerindra. Misalnya PDIP sebagai pimpinan DPR RI dan Partai Gerindra sebagai pimpinan MPR RI. Dengan demikian, tekad PDIP untuk menang tiga kali pada pemilu 2024 tercapai dengan mendapatkan suara mayoritas utama di parlemen sambil “mengalah” untuk posisi presiden. Namun hal ini akan ditentukan oleh kenegarawanan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP dan pemegang hak prerogatif, demi bangsa, negara, dan rakyat Indonesia, bukan demi gengsi pribadi.

Bila pasangan capres-cawapresnya adalah Ganjar-Prabowo, maka hal itu berarti Partai Gerindra “mengalah” untuk posisi presiden sambil “menang” mayoritas kedua di parlemen. Pimpinan DPR RI bisa di tangan Partai Gerindra dan pimpinan MPR RI bisa di tangan PDIP. Tiga kali kekalahan dalam pemilu sebelumnya (2009, 2014, dan 2019) yang dialami Prabowo Subianto adalah kemenangan yang tertunda dan kemudian terjawab pada pemilu 2024 meski dalam posisi sebagai wakil presiden. Ini juga tergantung dari kenegarawanan Prabowo Subianto, mengalah sambil menang (RI-2) demi bangsa, negara dan rakyat Indonesia, dan bukan demi gengsi pribadi.

Menurut hasil-hasil survai, elektabilitas PDIP selalu teratas disusul Partai Gerindra. Diharapkan ini juga akan terbukti pada pelaksanaan pemilu sungguhan. Nah, hal terpenting dari “Mengalah Sambil Menang” bukan hanya terletak pada kemenangan PDIP dan Partai Gerindra, melainkan yang mahapenting adalah “Memenangkan Negara Pancasila”, bukan negara khilafah. Kemenangan tersebut sekaligus merupakan amanah dan imperatif politik bagi presiden terpilih untuk dengan berani melakukan “revolusi konstitusi”, tentu dengan cara konsensus nasional lewat MPR hasil pemilu 2024, demi memperkokoh ideologi Pancasila dan mengembalikan UUD 1945 ke fitrahnya sebagai Konstitusi Proklamasi. Mengapa?

Karena rezim-rezim reformasi sepanjang seperempat abad reformasi dengan sengaja berpura-pura melupakan skandal dualisme konstitusi antara UUD Proklamasi 1945 dan UUD 2002 sebagai konstisusi baru hasil pesanan kekuatan Neoliberalisme global yang berkonspirasi dengan kaum komprador pengkhianat banga sendiri. Menegakkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi “supremasi kedaulatan rakyat” yang mutatis-mutandis “supremasi kosntitusi”. Menghidupkan dan memosisikan kembali GBHN dalam UUD, dan bukan dalam bentuk produk perundang-undangan. Ini bukan langkah mundur melainkan langkah maju dan harus dilakukan!

Hal terpenting berikutnya adalah untuk bisa “mengalah sambil menang” sangat tidak cukup kalau PDIP hanya berkoalisi dengan Partai Gerindra, melainkan perlu bermitra dengan PKB dan KIB (Koalisi Indonesia Bersatu: Partai Golkar, PAN, dan PPP). Semua mereka bisa bergabung, misalnya, dalam koalisi bernama “Koalisi Nusantara Bersatu”. Setiap partai politik peserta pemilu harus realistis dan objektif dengan kemampuan diri sendiri. Jangan terlalu overconfidence, apalagi mengkhayal! Maka yang berlaga dalam Pemilu 2024 adalah Koalisi Nusantara Bersatu versus Koalisi Perubahan (Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS). Pemilu pun berlangsung satu putaran.

Partai-partai baru silahkan memilih bermitra dengan koalisi yang mana, terserah! Dua pasangan capres-cawapres bukan berarti tidak demokratis. Juga tidak perlu “berkelahi” (sebagaimana selalu dikhawatirkan akan terjadi. Kalau terjadi konflik berarti ada rekayasa supaya terjadi). Bertarunglah dengan fair dan jantan serta bermartabat. Pemilu akan hemat biaya, KPU dan Bawaslu tidak dibebani pekerjaan mahaberat sehingga kualitas kerja mereka bisa berkurang, dan rakyat juga tidak dibikin repot sementara hasilnya belum tentu membahagiakan mereka.

Menangkan Indonesiasentris

Dengan kemenangan Koalisisi Nusantara Bersatu (diandaikan benar terjadi demikian), maka hal itu berarti pula “memenangkan kebijakan dan strategi pembangunan yang bercorak Indonesiasentris” dengan IKN (Ibu Kota Negara) baru bernama “Nusantara” sebagai batu penjuru yang kokoh sekaligus paradigma baru pembangunan nasional yang bercorak Indonesiasentris, bukan lagi Jawasentris.

Di atas batu penjuru IKN Nusantara yang kokoh dan “paradigma Indonesiasentris” itulah, presiden ke-8 yang terpilih pada pemilu 2024 akan menerima mission sacre dan tanggung jawab sejarah yang besar, yakni agar Trisakti sebagai Ajaran Kemandirian Bangsa (berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan) tidak lagi sekadar slogan yang mengenakkan telinga, melainkan benar-benar dan nyata-nyata terlaksana.

Dalam rangka Trisakti dan Indonesiasetris serta IKN baru itulah, maka dari presiden terpilih diharapkan keberanian ala para Bapa dan Ibu Pendiri Bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, untuk melakukan “Reproklamasi Kemerdekaan Indonesia” dari  dominasi kekuatan-kekuatan predatorik asing, yang berkedok globalisasi dan investasi serta kemitraan global, namun sambil memangsa karena lebih kuat dalam kapital, Iptek, dan tenaga ahli, entah itu China, Amerika, Eropa, atau Timur Tengah.

Dalam rangka yang sama pula, saya mengharapkan pemilu 2024 akan menjadi momentum historis strategis awal penting hagi dialektika sejarah yang akan mengakhiri era reformasi dan menghantarkan Indonesia memasuki milenium Tegaknya Negara Pancasila, yang tanpa orde-ordean (seperti Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi). Presiden dan para legislator atau tepatnya “sirkulasi elit nasional” boleh saja berganti secara demokratis dari pemilu ke pemilu, dan rakyat tetap bangga serta mencintai negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan bertekad untuk mempertahankannya.

Dengan paradigma baru Indonesiasentris, diharapkan para pemimpin terpilih pada pemilu-pemilu selanjutnya serius menggerakkan dan meningkatkan pembangunan dari pinggir Indonesia, yang telah dirintis oleh Presiden Joko Widodo. Ingat, mayoritas rakyat Indonesia, yang belum signifikan merasakan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (amanat sila kelima dari Pancasila) adalah rakyat yang ada di desa-desa di seluruh Indonesia dan rakyat miskin perkotaan di kota-kota besar maupun kota-kota kecil di seluruh Indonesia.

Bisa Meleset

Bacaan dan tafsiran saya terhadap kode politik tersebut di atas bisa meleset alias salah, apabila kode-kode politik yang dipamerkan oleh para elite politik itu berlangsung hanya sekedar basa basi politik semata, tidak jujur dan ikhlas, tidak demi bangsa, negara, dan rakyat Indonesia, melainkan demi hasrat dan ambisi pribadi serta demi ambisi partai.

PDIP dan Partai Gerindra akan menempu jalannya sendiri-sendiri dengan taktik dan strategi pemenangan pemilu masing-masing. Akan ada tiga koalisi, dan PDIP ditinggal sendirian karena terlalu PD alias percaya diri berlebihan dan “memuja hak prerogatifisme” (maaf, agak pedas). Jika demikian, maka apa yang akan terjadi, saya tidak tahu karena bukan ahli ramal-meramal. Biarlah waktu dan sejarah yang akan membuktikannya.***

Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *