Oleh Peter Lewuk
SILA KETIGA dari Pancasila adalah: “Persatuan Indonesia”. Berbicara tentang persatuan Indonesia berarti berbcara tentang nasionalisme. Dan berbicara tentang nasionalisme tidak hanya sekadar disederhanakan menjadi slogan “NKRI Harga Mati”. Apa benar NKRI itu harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi? Apa jaminannya agar NKRI tidak bisa ditawar-tawar lagi?
Bila sampai terjadi NKRI Harga Mati itu bisa ditawar-tawar, itu berarti ada sesuatu yang tidak beres dengan NKRI. Nah, bagaimana supaya jangan sampai NKRI itu ditawar dengan federalisme, atau khilafah atau NII/negara Islam Indonesia, atau juga upaya melepaskan diri dari NKRI, yang semuanya itu jelas-jelas berentangan dengan KNRI harga mati?
Gugatan dan tawaran terhadap NKRI harga mati itu bisa saja terjadi, misalnya, di Papua dan Maluku dengan alasan ketidakadilan, diskriminasi, dan pelanggaran HAM di daerah tersebut, sehingga ingin merdeka dari NKRI. Atau ada kemungkinan darerah lain yang merasakan ketidakadilan, padahal mereka punya potensi SDA maupun SDM, sehingga menuntut federalisme.
Mengapa hingga saat ini “negara agama”, semisal NII atau khilafah masih saja disuarakan dan diperjuangkan? Demikian pula perlu dipehitungkan kemungkinan pihak asing memanfaatkan era revolusi teknologi digitalisme untuk menguasai daerah-daerah yang potensial SDA-nya sehingga menawar negara federal atau serikat? Apa yang harus dilakukan agar tertutup peluang dan kemungkinan untuk menawar NKRI harga mati?
Amalkan Pancasila
Mengamalkan Pancasila secara konsisten dan konsekuen, agar nasionalisme atau NKRI harga mati tidak dapat ditawar-tawar, itu adalah jaminannya. Ini bukan sekedar slogan kosong tak bermakna. Apalagi setelah hampir satu abad Indonesia merdeka, sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih belum signifikan dirasakan oleh rakyat daerah-daerah tertinggal.
Jurang ketidakadilan sosial harus diakui masiih dialami daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Jurang itu baru mulai nyata ditimbun ketika kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ini tentu harus semakin baik pada masa-masa selanjutnya. Apa yang sedang dialami rakyat daerah dengan kebijakan Presiden Joko Widodo harus dilanjutkan, sehingga orang tidak tergoda menawar NKRI harga mati.
Demi kesejahteraan rakyat daerah, maka peran Dewan Perwakilan Daerah harus semakin dirasakan manfaatnya oleh rakyat daerah. Para anggota DPD harus memastikan bahwa rakyat di daerah-daerah yang mereka wakili telah mulai merasakan keadilan proporsional dan kesejahteraan di berbagai aspek pembanguan, yang dari waktu ke waktu ditingkatkan. Ini akan mencegah upaya menawar NKRI harga mati.
Dalam rangka pengamalan Pancasila itu, maka sila pertama Pancasila mengimplikasikan imperatif moral politik bahwa semua agama di Indonesia harus menjadi solusi masalah bangsa dan bukan sebaliknya menjadi beban dan masalah bagi bangsa ini, akibat dari ulah dan perilaku penganutnya.
Egoisme agama harus disingkirkan jauh-jauh. Pancasila sudah menjamin setiap agama di Indonesia mengembangkan dirinya. Kalau di lingkungan internal masing-masing agama tidak beres, jangan salahkan negara atau Pancasila, lalu menawarkan sistem khilafah, misalnya, yang sekarang sudah berantakan dari negeri asalnya.
Sebagai komitmen akan pengamalan Pancasila, marilah kita sesama anak bangsa saling menghargai dan mengasihi demi kemanusiaan yang adil dan beradab, sila kedua dari Pancasila. Keragaman suku, agama, ras, dan golongan adalah sunnatullah, sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kita orang Indonesialah yang harus merawatnya dengan praktik solidaritas dan subsidiaritas di antara sesama saudara sebangsa dan setanah air, Indonesia, dalam semangat bhinneka tunggal ika.
Berantas Korupsi yang Memalukan
Korupsi memang kejahatan politik yang memalukan bangsa ini, baik di mata dunia internasional maupun rakyat Indonesia sendiri. Jangan dianggap enteng bahwa korupsi tak membahayakan NKRI. Cepat atau lambat kejahatan korupsi itu akan membuat NKRI harga mati berantakan. Oknum elite politik dan kekuasaan tanpa malu-malu, tak bermoral, dengan sengaja berkolusi dengan oknum pengusaha swasta melakukan korupsi. Telinga kita sudah terbiasa mendengar sindiran “korupsi berjamaah”.
Secara satir saya biasa mengatakan tentang Koruptor Pancasilais. Artinya para elite politik dan kekuasaan fasih berpidato tentang Pancasila, tetapi dalam praktik Pancasila justru dijahati (corruptio, bahasa Latin, artinya jahat) oleh mereka dengan tindakan koruptif, entah itu menyangkut fulus ataupun korupsi kebijakan yang pada giiirannya menghasilkan korupsi fulus, yang kalau diakumulasi sudah bernilai ratusan bahkan ribuan triliun rupiah sejak Orde Baru hingga Reformasi.
Saya tidak tahu “makhluk dari planet mana yang melahirkan, menurunkan, dan mewariskan DNA korupsi” itu ke dalam tubuh para oknum elite politik, kekuasaan, dan oknum pengusaha swasta, dari pusat kekuasaan hingga daerah-daerah, sehingga mereka dengan giat melakukan korupsi, padahal mereka tahu bahwa korupsi itu tindakan jahat yang melanggar hak rakyat atas kesejatraan sosial-ekonomi-keuangan.
Indonesiasentris Berkeadilan
Di akhir masa jabatan Presiden Joko Windodo, ada perkemangan yang menggembirakan. Yakni kebijakan dan strategi pembangunan yang disebut Indonesiasentris, yang dalam tulisan ini, saya tambahkan dengan “berkeadilan”. Ada “hijrah politik pembangunan” dari kesan umum puluhan tahun yang bersifat Jawasentris berpindah ke Indonesiasentis, yang secara fisik disimbolkan dengan perpindahan dari lokasi bernama Jakarta sebagai Ibu Kota RI ke nama Ibu Kota Nusantara (IKN), di “sentral Indonesia” di Kalimantan.
Semoga hijrah politik ini dapat memperkokoh NKRI. Dari Indonesiasentris itulah sang pemimpin nasional selaku kepala negara dan kepala pemerintahan RI menjalankan kebijakan pembangunan nasional Indonesia yang “berkeadilan proporsional” bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia. Daerah-daerah yang selama puluhan tahun belum mendapatkan keadilah proporisonal diprioritaskan hingga mencapai keseimbangan proporisonal secara Idoneseiasentris.
Karena itu, seluruh rakyat Indonesia harus mendukung hijrah politik yang telah dimulai oleh Presiden Joko Widodo, yang juga harus dilanjutkan oleh presiden hasil pemilu 2024. Siapa pun yang terpilih secara demokratis harus melanjutkan kebijakan hijrah politik ke Indonesiasentris Berkeadilan itu.
Segala godaan dari pihak mana pun yang mencoba menawar NKRI Harga Mati perlu diberi pencerahan agar paham. Para bapa dan ibu pendiri bangsa ini telah mewariskan NKRI kepada generasi penerus. Jangan khianati mereka dengan tidak memperkokoh NKRI, sehingga diobok-obok pihak lain.
Politik Luar Negeri
Indonesia telah memiliki kebijakan politik luar negeri yaitu bebas aktif dan nonblok. Tinggal saja menjalankannya secara profesional dan produktif didukung oleh barisan diplomat Indonesia yang juga harus berintegritas, berdidikasi, dan berwawasan luas, serta keahlian dan kecakapan berdiplomasi. Dengan komitmen politik luar negeri yang mempekokoh dan memajukan NKRI menjadi negara besar yang maju dan diperhitungkan oleh negara-negara sahabat.
Para diplomat Indonesia ditunut kecakapan dan kemampuan “mendayung” di antara “karang-karang blok-blok kekuatan global, terutama kekuatan ekonomi, politik, dan pakta-pakta militer, agar “Kapal NKRI” yang besar ini tidak terhempas.
Indonesia boleh bersahabat dengan negara mana pun di dunia. Tetapi dengan sikap “kritis, jangan mau didikte oleh kepentingan asing. Semangat bebas aktif dan nonblok harus dillengkapi dengan sikap kritis jangan sampai “ada diplomasi udang di balik batu” dari pergaulan internasional itu.
Juga jangan sampai ada “madu” di tangan kanan negara sahabat tetapi ada pula “racun” di tangan kiri negara sahabat. Untuk itu dibutuhkan ketajaman nalar, nurani, dan instink diplomatik’ yang harus dimiliki para pemimpin dan diplomat Indonesia untuk membaca “tanda-tanda zaman” dalam kegiatan diplomasi yang diperlihatkan negara sahabat.
Para diplomat Indonesia dan juga pemerintah serta seluruh rakyat Indonesia harus waspada jangan sampai secara fisik-geopolitik, NKRI adalah besar, namun dianggap dan dijadikan “kecil” oleh kekuatan blok-blok global dengan terus menguasai dan menguras sumber daya-sumber daya Indonesia melalui utang, investasi, dan keahlian Iptek mereka.
Penguasaan Iptek
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi atau Iptek juga merupakan salah satu syarat penting untuk memperkokoh nasionalisme atau NKRI Harga Mati. Anak-anak bangsa yang memilki talenta Iptek harus dididik dan dipersiapkan untuk memajukan bangsa dan negara ini ke depan dengan penguasaan Iptek.
Dalam konteks ini LiPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Badan Riset Nasional atau BRIN mempunyai tanggung jawab besar. Dana dari APBN harus digunakan secara bertanggung jawab untuk riset dan pengembangan Iptek. Jangan sampai kita hanya dicap sebagai bangsa konsumeris dalam hal Iptek.
Dan, saya masih mempunyai keyakinan dan percaya bahwa anak bangsa ini akan menguasai Iptek demi kemajuan dan kesejahteraan serta kejayaan Indonesia. Tentu masih ada dimensi-dimensi penting lainnya untuk menjamin NKRI Harga Mati agar tidak ditawar-tawar, yang dapat Anda sebutkan dan elaborasikan untuk dibagikan kepada publik Indonesia.**
Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.