Bamsoet menegaskan perlunya mengembalikan kewenangan MPR RI berupa kewenangan subjektif superlatif sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi darurat konstitusi atau kedaruratan. Di mana konstitusi tidak dapat lagi terlaksana.
“Sebagai Ketua MPR saya melihat bahwa bangsa kita, konstitusi kita tidak ada pintu daruratnya. Tidak ada protokol kalau terjadi sesuatu yang luar biasa bagi bangsa ini. Semisal, Pemilu tidak bisa kita laksanakan tepat waktu. Siapa yang bisa memperpanjang anggota DPR, DPD, MPR atau DPRD? Siapa yang bisa memperpanjang jabatan presiden dan wakil presiden?” tanya Bamsoet.
Ia memaparkan, Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang penundaan Pemilu. Pemilu bisa ditunda karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian dan atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.
“Konstitusi hanya memuat dan menulis jabatan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, MPR, DPRD berlangsung selama 5 tahun. Semua anggota DPR, DPD, MPR hasil Pemilu dilantik pada tanggal 1 Oktober. Presiden dan Wapres dilantik tanggal 20 Oktober,” kata Bamsoet.
“Nah, kalau Pemilu tidak bisa dilaksanakan tepat waktu karena berbagai alasan, maka seluruh jabatan-jabatan hasil pemilu tidak ada. Karenanya, konstitusi kita harus memiliki pintu darurat untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal tersebut,” kata politisi senior Partai Golkar ini. **