banner 728x250
OPINI  

Ketika Tuhan “Mendigitalisasi” Bumi-Manusia

banner 120x600
banner 468x60

(Catatan, artikel opini kali ini agak berat, sehingga untuk mereka yang tidak suka membacanya, silahkan lewatkan saja. Saya pun ma’fum bahwa dalam kesupersibukan sehari-hari bekerja menghidupi keluaraga, mengurus bisnis, dan negara, orang tidak mungkin meluangkan waktu untuk memikirkan hal yang sulit-sulit. Namun, bagi yang ingin membacanya diperlukan kesabaran dan olah nalar).

Tajuk tulisan tersebut di atas timbul dalam pikiran saya, ketika lewat media digital, saya menyaksikan masyarakat saya di Tana Ai, khususnya Desa Natarmage, melakukan ritual adat penanda dimulainya pembangunan Menara Pemancar BTS (Base Transceiver Station) sebagai realisasi program digitalisasi atau internetisasi Indonesia memasuki era industri 4.0 (gelombang keempat) dari Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia, yang dipimpin oleh seorang putra Tana Ai, yaitu Bapak Johnny G. Plate Tapun. Tetapi, tentu saja pada kesempatan ini saya tidak membahas tentang Tana Ai, juga tidak membahas buku karya begawan sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) tentang “Bumi Manusia”, yang di era rezim Orde Baru sempat dibredel oleh penguasa.

banner 325x300

Sebaliknya, saya ingin secara singkat melakukan refleksi teologis dan menarik implikasinya bagi peradaban digitalisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut logika iman kristiani, betapa wahyu Tuhan tetap bekerja melalui pencurahan dan pencerahan kecerdasan akal budi manusia oleh Tuhan, Sang Logos sejati, Sang Firman, Sang Rasio atau Sang Kecerdasan itu sendiri. Hal ini persis seperti dikatakan oleh Yesus ketika mengajar di Palestina: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” (Yoh. 5: 17).

Sesungguhnya, secara analogis-simbolis dan alegoris-metaforis, melalu “digitus” (bahasa Yunani, berarti “jari-jemari”) “tangan-Nya”, Tuhan secara rohani tetap bekerja, tetap “mendigitalisasi”, tetap mengatur atau memanajemen “Bumi-Manusia” dan semesta jagat raya ciptaan-Nya. Perkataan Yesus tersebut di atas tentu saja tidak hanya berlaku ketika Yesus mengajar di Paletina dan bersoal-jawab dengan para elite agama Yahudi tentang “bekerja” pada hari Sabat, tetapi juga berlaku universal dan lintas milenium hingga akhir zaman. Tuhan tetap mewahyukan misteri diri-Nya, misteri hukum alam, dan misteri manusia, tetutama misteri kecerdasan akal budi manusia itu sendiri.

Lantas, apa yang dimaksudkan dengan wahyu dalam konteks ini? Tidak lain adalah penyingkapan tabir misteri atau membuka selubung rahasia, sehingga dapat diketahui, dipahami, dan diyakini. Sejak pada mulanya dan dari periode sejarah yang satu ke periode sejarah berikutnya hingga milenium ketiga ini, Tuhan sendiri tetap bekerja. Juga Tuhan tetap berkarya melalui orang-orang yang oleh Tuhan diberi “kuasa khusus” sebagai “pewahyu” untuk menyingkapkan misteri diri Allah, misteri hukum-hukum alam, dan misteri diri manusia, yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia selama di bumi ini. Mereka itulah yang saya sebut para “nabi agama” dan para “nabi sains”.

Digitalisasi: Teologis-Teknokratis

Dari sejarah Tuhan dan Bumi-Manusia serta jagat raya ciptaan-Nya, kita mengetahui bahwa setelah karya penciptaan, Tuhan memberkati dan memberikan mandat teologis-evolusioner-teknokratis kepada manusia yaitu perintah untuk “berkuasa” (Yunani berarti kratein) atas bumi dan segala isinya sebagaimana tersirat dalam kisah penciptaan (Kej. 1: 28). Sebagai “mahkhota atas segala makhluk“, yang diciptakan menurut rupa dan gambar atau citra Tuhan, manusia dilengkapi oleh Tuhan dengan “tritalenta insaniah-asali utama”, yaitu kecerdasan akal budi, hati nurani, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam proses digitalisasi dunia kehidupan melalui sains dan tekonologi. Setelah itu, apakah Tuhan membiarkan manusia berjalan sendiri dengan kekebasan, hati nurani, dan kecerdasan akal budinya? Tentu saja tidak! Tuhan tetap bekerja memanajemen “bumi-manusia” dan semesta jagat raya ciptaan-Nya. Tuhan tetap bermitra dengan manusia.

Untuk membahas literasi “teologis-evolusioner-teknokratis” secara sangat singkat tentang “Tuhan Mendigitaslisasi Bumi-Manusia”, saya ingin meminjam pendapat filsuf dan teolog Rudolf Otto (1869-1937) bahwa Tuhan itu “misteium tremendum et fascinosum” (bahasa Latin). Artinya, Tuhan itu misteri yang menakutkan atau menggentarkan sekaligus juga misteri yang menarik atau mempesona. Tentu saja “misterium tremendum et fascinosum” tidak hanya berkaitan dengan Tuhan saja, tetapi juga dengan Bumi-Manusia dan semesta jagat raya. Bahkan lebih dalam dari itu berkaitan dengan misteri “Ada dan Ketiadaan”, juga berkaitan dengan misteri “Eksistensi”. Namun penting dicatat bahwa “Ada dan Ketiadaan” serta “Eksistensi” hanya berlaku untuk Bumi-Manusia dan semesta jagat raya, sebaliknya tidak berlaku untuk Tuhan. Penjelasan singkatnya sebagai berikut.

Tuhan an sich (pada diri-Nya sendiri) selamanya ada, kekal, abadi. Tuhan tidak pernah tidak ada, juga tidak pernah Tuhan “Ada dalam Ketiadaan”. Sebaliknya, Bumi-Manusia dan seluruh isi semesta jagat raya, pernah “tidak ada” kemudian menjadi “ada”. Bumi-Manusia dan semesta jagat raya ber-“Eksistensi” (bahasa Latin: “ex” berarti dari atau keluar dari, kemudian “sistere” yang berarti “ada“ di sana). Bumi-Manusia dan segala isi semesta jagat raya berasal dari “ketiadaan”, kemudian menjadi “ada”. Itulah yang disebut “creatio ex nihilo” atau penciptaan dari ketiadaan.

Problem selanjutnya adalah apakah “ketiadaan” itu merupakan “bahan baku” penciptaan padahal Tuhan tidak bisa disebut memiliki ketiadaan, suatu yang contradictio in terminis? Tuhan tidak mungkin mengotradiksikan diri-Nya sendiri. Jadi, apa makna penciptaan dari ketiadaan? Menurut saya, sebelum menjadi “realitas tercipta”, jagat raya dan segala isinya dan Bumi-Manusia “berada” dalam ADA MUTLAK, YHWH, TUHAN yang mahakuasa. Semuanya itu ada dalam Akal Budi Sang Pribadi Roh Mahacerdas. Jadi, creatio ex nihilo hanya berlaku untuk manusia yang berpikir demikian, tetapi tidak berlaku untuk Tuhan.

Peran “Nabi-Agama”

Nah, di antara para “nabi agama” dari berbagai agama di dunia, dalam tulisan ini saya ingin tampilkan satu tokoh saja, yaitu Nabi Musa dari kalangan Monoteisme-Trinitaris-Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Sebagai “pewahyu”, bagaimana Nabi Musa membuka selubung “misterium tremendum et fascinosum” Tuhan dan Bumi-Manusia beserta semesta jagat raya? Dengan Kecerdasan Ilahi yang terilhamkan dalam dirinya, Nabi Musa secara sangat cerdas mengemukakan apa yang saya sebut sebagai “abstraksi teologis-evolusi-revolusioner tingkat tinggi” tentang terciptanya “Bumi-Manusia, jagat raya dan segala isinya”, sebagaimana dapat Anda baca dalam Taurat Musa, terutama Kitab Kejadian pasal 1 dan 2.

Secara teologis-evolusioner, Tuhan meringkaskan evolusi Bumi-Manusia dan jagat raya hanya dalam “enam masa” (enam hari). Inilah yang saya sebut waktu “metamatematika” atau waktu “metamathsis”, yaitu waktu Ilahi (yang tak terhitung oleh otak manusia), yang “dipersingkat” oleh Tuhan menjadi waktu “matematis-manusiawi” atau waktu antropologis, yaitu enam hari atau enam masa (yang meski dapat dihitung dari satu sampai enam hari, namun bukan untuk dipahami dan dimaknai secara harafiah). Jarak antara “ex” dan “sistere” atau antara “keluar dari ketiadaan sampai menjadi ada di sana”, itulah “masa metamatematika” atau “masa metamathesis”, atau waktu Ilahi, yang tak terhitung atau tak terbilang, tak dapat diperkalikan atau tak dapat ditambahkurangkan.

Dalam bahasa teologis, “singkatnya masa evolusi penciptaan” itu terjadi berkat kemahakuasaan dan kemahacerdasan Sang Ilahi, YHWH, Sang MAHA-ADA, yaitu TUHAH, Sang Pencipta, yang dengan otoritas, kedaulatan, dan kehendak bebas-Nya, Tuhan hanya dengan “berfirman” saja, maka terjadilah seluruh isi universum dan Bumi-Manusia yang sebelumnya ada dalam pemikiran Tuhan, kemudian menjadi realitas tercipta dan ada! Pertanyaan penting selanjutnya adalah apakah dengan terciptanya Bumi-Manusia dan jagat raya, maka wahyu dan evolusi pun selesai? Tentu saja tidak! Tuhan tetap bekerja, sebagaimana dikatakan oleh Yesus. Tuhan tetap mendigitalisasi Bumi-Manusia. Apalagi ketika menciptakan Bumi-Manusia, Tuhan menaruh Hukum Ilahi dalam hukum-hukum alam, yang akan diungkapkan oleh para “pewahyu” khusus, yaitu para “nabi sains”.

Masih dalam konteks teologi evolusi, bukti paling menakjubkan dan mempesona tentang “Kecerdasan Ilahi” adalah “ontoantropogenesis” (proses manusia menjadi ada) dalam evolusi janin dari sel-sel sederhana kemudian menjadi manusia sempurna selama waktu sembilan bulan; dari semula tiada kemudian menjadi ada dalam Rahim sang ibu hasil pembuahan sel telur dan sperma yang matang dari sang istri dan sang suami. Inilah yang saya sebut “evolusi-revolusioner” rancangan sang Maha-Cerdas. Seandainya teori Charles Darwin (1809-1882) tentang “seleksi alam dan spesies” diterapkan pada evolusi janin menjadi manusia sempurna, maka berapa lamakah waktu yang dibutuhkan agar segala unsur biologis, kimiawi, dan fisika terstruktur dan terkonstruksi dari sederhana menjadi manusia sempurna selaras hukum seleksi alam dan spesiesnya Darwin?

Saya tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Namun, bersama Pujangga Alkitab, sang Pemazmur, yaitu Raja Daud, saya akan memuji keajaiban dan kecerdasan Tuhan dengan berkata: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pingganngku, menenum aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib, ajaib apa yang Kaubuat dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” (Maz. 139: 13-14).

Pertanyaan penting selanjutnya berkaitan dengan Eksistesi Bumi-Manusia dan jagat raya, yaitu perihal “Permulaan” dan “Penyebab”. Setelah melewati berbagai macam penelitian ilmiah, para “nabi sains” berkesimpulan bahwa Bumi-Manusia dan jagat raya pasti mempunyai “permulaan” dan “penyebab”. Timbul pertanyaan, bagaimankah dengan “Sebelum Permulaan” dan “Sebelum Penyebab”? Bagi saya, pertanyaan ini sangat mudah dijawab. Yakni: Sebelum “Permulaan” ada ADA, yaitu YHWH (Yun.: yah berarti “ada”), yaitu TUHAN, yang “tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai penyebab”. Justru YHWH, TUHAN-lah yang menjadi Penyebab segala sesuatu mempuyai Permulaan kemudian berevolusi menuju kesempurnaan, kemudian menuju kesudahan.

Dalam “abstraksi teologis-evolusi-revolusionerr-tingkat tinggi” yang diungkapkan oleh Nabi Musa dalam Kitab Kejadian pasal 1 dan 2, kita menangkap kesan bahwa evolusi manusia Adam dan Hawa telah mencapai puncaknya, manakala mereka menjadi manusia sempurna sebagai homo sapiens sapiens dan sebagai ens rationale setelah melewati waktu teologis-metamathesis atau dapat juga disebut waktu metafisik. Juga setelah evolusi manusia melewati waktu matematis-antropologis.

Peran “Nabi-Sains”

Baiklah sekarang, dari Nabi Musa kita beralih kepada peran para “nabi sains”. Sebagai “pewahyu” misterium tremendum et fascinosum, apa yang dilakukan oleh para nabi sains? Menurut saya, hal yang dilakukan oleh para “nabi sains” atau “ilmuwan” adalah secara aposteriori-induktif dan rasional-ilmiah mau menemukan, membuktikan, mengungkapkan, mengafirmasi, dan mengonfirmasi “Hukum Allah” dalam “hukum-hukum alam”, baik yang telah mampu dibuktikan oleh kecerdasan otak para “nabi sains”, maupun yang akan mampu dibuktikan sejalan dengan evolusi rasionalitas ilmiah yang dimiliki para “nabi sains”. Para “nabi sains” itu tidak berurusan dengan meneliti Tuhan secara ilmiah dalam laboratorium, melainkan meneliti dan mengungkapkan hukum-hukum Tuhan yang telah ditanamkan-Nya di dalam hukum-hukum alam, sehingga bermanfaat bagi kebaikan dan kesejahteraan umat manusia di bumi ini sebagaimana dapat kita nikmati dewasa ini.

Semuanya itu dapat dilakukan oleh para “nabi sains”, justru karena karunia kecerdasan, hikmat, dan pengetahuan dari YHWH, ALLAH, PRIBADI ROH MAHACERDAS, sekalipun ada para “nabi sains” yang menganggap Tuhan tidak perlu dilibatkan dalam penciptaan. Bila Nabi Musa menghasilkan “abstraksi teologis-evolusi-revolusioner-tingkat tinggi” tentang evolusi penciptaan, maka para “nabi sains” menghasilkan teori-teori tentang kapan dan bagaimana Bumi-Manusia dan seluruh isi semesta jagat raya mulai ada dan berevolusi serta bagaimana terjadinya kehidupan.

Menurut Albert Einstein (1879-1955), “Evolusi adalah inteligensi yang begitu agung sehingga pikiran sistematis manusia hanya merupakan pantulan lemah darinya”. Dengan demikian, kemampuan sistematis pikiran saya yang awam untuk memahami hasil kerja otak para ilmuwan evolusi yang sangat canggih itu pun merupakan pantulan yang juga sangat-sangat lemah, tapi saya akan coba sejauh kemampuan saya mencerna dan menyaripatikan secara sangat singkat kepada Anda berikut ini.

Dengan mengeyampingkan peran Tuhan dalam penciptaan, rupanya gagasan creatio ex nihilo atau penciptaan dari ketiadaan membuat fisikawan Amerika, Alan Guth (1947- ?), berspekulasi bahwa universum atau jagat raya, melalui suatu mekanisme, menciptakan dirinya dari ketiadaan. Namun spekulasi semacam itu segera mengusik logika saya, yaitu “bagaimana mungkin ketiadaan dapat melahirkan ada”? Bagaimana mungkin dari ketiadaan itu, terbitlah jagat raya dengan segala isinya dan Bumi-Manusia?

Dengan kata lain, jagat raya harus datang dari sesuatu yang “ada”, bukan dari ketiadaan. Nah, berkaitan dengan “ada” sebagai sumber datangnya atau lahirnya universum, perlu dipertimbangkan sebuah teori populer yang telah menjadi konsensus sebagian besar “nabi sains”, yaitu teori Big Bang atau Ledakan Dahsyat yang membentuk universum. Banyak ahli fisika yang mecoba menjelaskan teori evolusi big bang yang kompleks dan rumit serta memusingkan kepala itu, namun di sini saya hanya merujuk secara singkat seorang fisikawan sekaligus biarawan Katolik asal Belgia, yaitu Georges Lemaitre (1894-1966). Pada tahun 1927 biarawan itu mengemukakan “Hipotesis Atom Purba”. Teori terjadinya Big Bang dari Atom Purba itu kemudian dijelaskan lagi antara lain oleh Stephen Hawking (1942-2018), tapi tidak akan saya kemukakan di sini.

Inti pemikiran biarawan Georges Lemaitre adalah bahwa universum lahir dari kondisi “titik ketunggalan” atau “singularitas” yang berbentuk gumpalan padat atom dengan suhu panas sekitar sepuluh miliar sampai satu triliun derajat Celcius. Belasan miliar tahun (ada yang memperkirakan 14 miliar tahun) silam “atom purba” itu meledak dengan sangat dahsyatnya yang disebut big bang. Ledakan dahsyat atom purba itu menghasilan materi, energi, ruang, dan waktu. Kemudian, partikel-partikel materi hasil ledakan dahsyat itu membentuk benda-benda universum seperti galaksi-galaksi dan bintang-bintang, matahari atau tatasurya dan planit-planit lain termasuk planet bumi.

Dengan demikian, menurut saya, observasi dan penjelasan tentang awal mula universum harus bertolak dari premis bahwa pada mulanya ada “A” yaitu Atom. Meskipun, perihal bagaimana Atom itu berawal atau apa penyebab adanya Atom, dianggap tidak relevan oleh para fisikawan untuk dipertanyakan. Menurut mereka, teori big bang bukan untuk menjelaskan permulaan alam semesta, melainkan untuk mendeskripsikan perubahan-perubahan umum benda-benda universum sejak setelah terjadinya ledakan dahsyat Atom Purba, yang tidak akan saya sajikan dalam tulisan ini karena sangat kompleks, rumit, dan memusingkan kepala bagi kita yang awam.

Baiklah, setelah Big Bang “melahirkan” atau menciptakan semesta jagat raya termasuk planet bumi, tempat kita manusia hidup, maka pertanyaan penting berikutnya adalah bagaimana terjadinya kehidupan menurut hukum evolusi? Lagi-lagi perihal subtopik ini pun banyak “nabi sains” yang mengemukakan pendapat mereka yang sangat rumit. Terutama evolusi manusia sejak masa purbakala hingga mengalami proses “hominasi” atau transisi dari hewan menjadi manusia sempurna. Diperkirakan bahwa 7. 000.000 tahun yang lalu manusia berpisah dengan “nenek moyangnya” yaitu kera. Tidak salah juga manusia yang telah mencapai puncak kesempurnaan evolusinya itu saya sebut “kera sempurna” atau “kera berkecerdasan tinggi”, meski banyak orang tidak terima disebut demikian. Tentu ini tidak bisa disebut pelecehan martabat manusia, karena dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Perihal evolusi kehidupan, pantas disebut salah seorang filsuf sekaligus teolog, geolog, dan paleontolog Katolik terkenal, yaitu Pater Teilhad de Chardin, S.J. (1881-1955). Lagi-lagi untuk membahas bagaimana terjadinya kehidupan, kita perlu bertolak dari premis bahwa “Hidup hanya berasal dari sesuatu yang hidup”. “Hidup tidak mungkin berasal dari sesuatu yang tidak hidup”. “hidup tidak bisa berasal dari benda mati”.

Namun sebaliknya menurut Teilhard de Chardin, justru materi mempunyai potensi ke arah kehidupan, tidak bisa dikatakan “mati”. Berbeda dengan Darwinisme dan Neodarwinisme, yang menganggap evolusi sebagai proses mekanis belaka tanpa tujuan, tanpa makna, maka Teilhard de Chardin menyajikan “Evolusi Bermakna” dengan menekankan “inti dinamika evolusi” yaitu “kesadaran” baik pada manusia, hewan, tumbuhan, dan benda materi. Menurut Teilhard, bahkan materi mempunyai potensi rohani yang disebutnya sebagai “segi batin”. Baginya, benda atau materi tidak hanya merupakan kumpulan atom-atom yang berjajaran secara mekanis saja, melainkan kesatuan atom-atom dan molekul-molekul dengan daya inovasi dan kecenderungang tertentu, yaitu “kesadaran” yang merupakan kunci evolusi. Sebagai contoh dari batu sebagai benda mati dapat hidup lumut.

Adapun “Hukum Evolusi Teilhard de Chardin” berbunyi: “Makin kompleks benda, makin besar konsentrasi batin. Makin padat konsentrasi batin, kesadaran makin bebas, makain merdeka.” Potensi batin itu berkembang dari materi dengan fleksibilitas, kebebasan, dan kesadaran, yang secara evolusionis makin lama makin tinggi dan mencapai kesempurnaannya pada diri manusia. Itulah sebabnya manusia dikatakan menjadi “poros dan anak panah evolusi dunia”, yang puncaknya terjadi pada “persatuan yang sempurna dengan Titik Omega evolusi yaitu Tuhan”.

Lantas bagaimana dengan Adam dan Hawa, apakah keduanya merupakan manusia konkret-historis hasil evolusi sebagaimana dikesankan oleh Kitab Kejadian? Jawaban para “nabi sains” adalah Adam dan Hawa bukan orang-orang individual yang pernah hidup dalam sejarah, melainkan Adam dan Hawa adalah simbol pria dan wanita. Nama Adam dan Hawa menunjukkan universalitas. Adam berarti manusia. Hawa berarti hidup. Jadi, Adam dan Hawa berarti manusia yang hidup. Setiap pria adalah Adam dan setiap wanita adalah Hawa, namun kita manusia tidak “lahir” secara harafiah-historis-turun-temurun dari Adam dan Hawa kemudian tersebar ke seluruh belahan bumi.

Sesungguhnya teori evolusi kehidupan sangat kompleks dan rumit. Namun, pada prinsipnya dapat saya rumuskan begini: Satu-satunya pernyataan sekaligus pertanyaan logis, yang perlu diketahui, adalah bahwa “pernyataan tentang asal mula kehidupan meniscayakan sumber yang cerdas”. “Pernyataan ini meniscayakan pula pertanyaan: Apakah dan atau siapakah sumber yang cerdas itu”? Pujangga Alkitab, yaitu Pemazmur Daud, menjawab Allah-lah sumber kecerdasan, jawaban yang menjadi keyakinan miliaran manusia di dunia. “Sebab pada-Mulah ada sumber hayat.” (Maz. 36: 10). Para “nabi sains”, semisal Einstein menjawab: “Inteligensi Agung”. Teilhard de Chardin menjawab: “Sang Kesadaran”. Inteligensi Agung dan Sang Kesadaran adalah kunci evolusi kehidupan.

Jawaban para “nabi agama” dan “nabi sains” berbeda tetapi tidak saling bertetentangan. Bahkan setelah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik menerima secara positif teori evolusi dan tidak menghukum Teilhard de Chardin, sebagaimana gereja pernah menghukum Nicolaus Copernicus pencetus teori heliosentris. Tahun 1985 Paus Yohannes Paulus II menerima teori evolusi dengan penekanan bahwa “jiwa diciptakan langsung oleh Tuhan”. Tahun 2014 Paus Fransiskus mengatakan tidak ada pertentangan antara Tuhan dan Evolusi. Bahwa Big Bang dalam teori ilmiah penciptaan terjadi karena campur tangan kreatif Tuhan. Tuhanlah yang menghendaki Big Bang terjadi.

Dengan demikian, kepada para “nabi agama” dan “nabi sains” bersama Ayub, YHWH, TUHAN Yang Mahacerdas akan berkata: “Di manakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi? … Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya?” (Ayb. 38: 4-5). “Apakah engkau mencetuskan hukum-hukum yang mengatur langit ataukah menentukan hukum-hukum alam di bumi?” (bdk. Ayb. 38: 33). “Dengan hikmat TUHAN telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpancaran dan awan menitikkan embun”. (Ams. 3: 19).

Dengan refleksi “sangat singkat” tentang teori evolusi univesum dan Bumi-Manusia dari zaman permulaan waktu atau zaman purbakala hingga zaman teknologi digital canggih era revolusi industri 4.0 (gelombang keempat), saya hanya ingin membangkitkan kembali rasa kagum, rasa bersyukur dan terima kasih tak terhingga atas providencia Dei atau penyelanggaraan Tuhan, yang terus-menerus mendigitalisasi dunia kehidupan manusia. Saya tidak dapat membayangkan apa jadinya kalau “Digitus Deus” berhenti mendigitalisasi Bumi-Manusia. Juga saya ingin menarik implikasi refleksi ini bagi peradaban digitalisme masyarakat dan bangsa Indonesia?

Peradaban Digitalisme

Evolusi teknologi sejak zaman “pithecanthropus erectus” atau “kera-manusia” yang dapat berdiri tegak dan menggunkan “teknologi primitif batu” untuk kepentingan hidupnya, di Triniil, Jawa Tengah, pada 429.000 tahun sampai 236.000 tahun silam, dalam perkembangan sejarah selanjutnya, berpuncak pada zaman homo digitalis, manakala terjadi big bang teknologi atau ledakan dahsyat teknologi canggih. Para ilmuwan berhasil menciptakan “kecerdasan buatan” (artificial intelligence) atau “inteligensi mesin” dalam robot, komputer, teknologi pesawat ruang angkasa yang mendaratkan manusia di planet Bulan dan tidak lama lagi di planet Mars, teknologi persenjataan perang canggih semisal drone, teknologi satelit komunikasi, internet, telepon pintar, email, fax berikut beragam media sosial, yang dapat mendigitalisasi seluruh dimensi kehidupan manusia.

Semuanya itu akan berimplikasi, positif maupun negatif, terhadap masalah “peradaban digitalisme”, inklusif masalah etika, moral, dan hukum. Terkait implikasi negatif, menarik diperhatikan perkataan fisikawan Amerika Robert Oppenheimer (1904-1967), yang memimpin pembuatan bom atom pada 1943-1945. Ia mengatakan bahwa “ahli fisika tergoda oleh teknologi ‘berkenalan dengan dosa’.” Dalam bahasa agama, bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika ke atas kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, dalam Perang Dunia II adalah dosa besar baik terhadap Tuhan maupun terhadap harkat dan martabat kemanusiaan para korban yang tewas dibunuh oleh bom atom.

Bagi kita masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, nilai-nilai peradaban digitalisme jelas harus bersumber dari dan berpedoman pada Pancasila sebagai “pancaetika” dan “pancamoral” bagi praksis-praksis digital, selain tentu saja berpedoman pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini, misalnya UU ITE.

Seseorang yang beradab dan cerdas dalam berdigitalisasi, dia tidak akan melakukan tindakan-tindakan intoleran dalam praksis keberagamaannya. Ia tidak fanatik-buta dan mengkafirkan orang beragama lain. Juga dia akan menjunjung tinggi dan merhargai harkat dan martabat kemanusiaan beserta hak-hak asasinya orang lain. Dia juga tidak akan mengorbankan martabat dirinya sendiri dengan maladigitalisasi atau malpraktik digital yang berujung jeruji besi. Orang yang beradab dan cerdas dalam berdigitalisasi jelas akan menyumbang pada terciptanya harmoni sosial kemasyarakatan yang pada gilirannya memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Hoax, misalnya, akan dihindarinya ketika berselacar di ruang virtual media sosial.

Keadaban dan kecerdasan juga sangat dibutuhkan dalam membangun demokrasi digital, baik di kalangan rakyat, maupun para elite politik, elite kekuasaan, dan pemerintah, agar praksis demokrasi digital tidak kontraproduktif, terutama memasuki tahun-tahun politik. Agar demokrasi digital jauh dari praksis budaya politik kotor semisal politik identitas, jauh dari politik manipulasi digital perolehan suara dalam pemilu demi meraih kekuasaan. Begitu pula praksis digitalisasi baik oleh pemerintah maupun pengusaha dan masyarakat harus mendorong dan mempercepat terwujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akhirul kalam, perlu dicatat bahwa perangkat-perangkat teknologi digital yang tersedia tidak lebih dari hanya sekadar piranti-piranti atau alat-alat netral semata. Dampak baik atau buruk dalam praksis digital, itu tergantung pada keberadaban dan kecerdasan manusia dalam berdigitalisasi. Oleh karena itu, literasi peradaban digitalisme perlu mendapat perhatian proporsional baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Seseorang yang memiliki kecerdasan dan keadaban dalam berdigitalisasi, jelas dia tidak akan “berkenalan dan bergaul dengan dosa-dosa digital”, yaitu praksis digital yang melanggar norma etika, norma moral, dan norma hukum yang akan merusak martabat eksistensinya sendiri. Ingat dan catat baik-baik: “Digitus-mu Harimaumu”. “Jari-jemarimu adalah masalahmu”. (Referensi: Franz Dahler,Teori Evolusi, Asal dan Tujuan Manusia, 2015; Watch Tower and Track Society of Pennsylvania, Apakah Ada Pencipta Yang Mempedulikan Anda?, Edisi Indonesia). ***

Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *