SINERGISATU.COM (Jakarta)- Sidang pemeriksaan terhadap terdakwa Lukas Enembe adalah proses obyektif guna menemukan kebenaran materill dan sangkaan perbuatan yang di dakwakan kepada tersangka lukas enembe.
Hal tersebut disampaikan oleh Emanuel Herdiyanto,SH.MH, anggota tim kuasa hukum dan advokasi Lukas Enembe kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Menurutnya, bahwa sidang pengadilan adalah merupakan tahapan akhir dalam pemidanaan untuk membuktikan sangkaan delik yg di duga dilanggar.
“Selama masa penahanan oleh penyidik KPK, klien kami Bapak Lukas Enembe saat ini sedang sakit dan telah beberapa kali harus dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk di rawat dan di cek kesehatannya. Dan saat ini, dalam persidangan klien kami juga menyatakan bahwa dirinya tidak sehat dan sedang sakit. Kalau kita simak perkataan klien kami dalam sidang online kemarin, klien kami mengatakan bahwa kakinya bengkak,” kata kuasa hukum gubernur Papua non aktif,Emanuel Herdiyanto kepada wartawan di Jakarta.
“Bengkak pada kaki klien kami ini karena sakit ‘Diabetes Melitus’ yang di deritanya. Dan ini adalah satu dari sakit yang oleh dokter RSPAD dan dokter IDI ( Ikatan Dokter Indonesia) disebut adalah benar di derita oleh klien kami.
Adapun, selain klien kami juga disebutkan menderita penyakit lain seperti riwayat stroke, sakit ginjal dan lainnya,” jelas Eman.
Bahwa hukum itu soal keadilan, kepastian dan manfaat.
“Jadi, kalau kita bicara dalam aspek keadilan dan kepastian hukum, tentu kita semua selaku penegak hukum menghendaki agar pemeriksaan terhadap klien kami dilakukan dengan kondisi sehat. Namun, dalam sidang kemarin, kita dengar sendiri bahwa ketua majelis hakim dengan tegas mengatakan bahwa kalau terdakwa sakit maka sidang tidak bisa dilanjutkan,” tegasnya.
Eman menjelaskan, bahwa sebagai kuasa hukum pihaknya akan mengusulkan kepada majelis hakim berkenan menunjuk Tim Dokter Independen guna memastikan kondisi kesehatan Bapak Lukas Enembe.
“Sebab, kalau harus adil maka bukan hanya rekomendasi dokter KPK atau jaksa yang di jadikan dasar dilanjutkan atau tidak sidang pak lukas enembe, tetapi dokter lebih independent secara kewenangan proses hukum. Bahwa, saat ini kita tahu bahwa terdakwa Bapak Lukas Enembe sedang berada dalam kewenangan pengadilan. Oleh karena itu, rencana usulan kami tersebut bersesuaian dengan kewenangan majelis hakim pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara klien kami,” kata dia.
Adapun, kata Emanuel Herdiyanto, rencana usulan tersebut dimaksudkan untuk memeriksa kondisi kesehatan kliennya, apakah benar- benar dapat mengikuti persidangan secara normal atau fit to stand trial. “Kemampuan seorang terdakwa untuk dapat mengikuti seluruh persidangan secara normal adalah bagian dari hak terdakwa untuk memperoleh peradilan yang adil atau Fair Trial,” paparnya.
Lanjut Emanuel, pernyataan “Fit to stand trial atau mampu mengikuti persidangan”, dalam hukum hak asasi manusia internasional setidaknya harus melewati 6 poin uji penting yaitu :
1. Terdakwa dapat memahami isi dan sifat dari dakwaan ;
2. Mengakui dakwaan atau menggunakan hak untuk mengajukan keberatan ;
3. Memahami isi dan sifat persidangan;
4. Mengikuti jalannya persidangan ;
5. Memahami dampak substansial dari setiap bukti yang mungkin diberikan dalam mendukung penuntutan;
6. Mengajukan pembelaan untuk menjawab dakwaan.
“Terlebih lagi kami juga telah mengajukan surat rekomendasi dari Komnas HAM RI yang merekomendasikan agar Bapak Lukas Enembe sebagai terdakwa tetap berhak mendapatkan pemenuhan hak atas kesehatannya yaitu di rawat oleh dokter pribadinya,” urai anggota tim kuasa hukum Lukas Enembe.
“Selama ini dengan kondisi sakit, klien kami tetap menjalani masa tahanan demi kepentingan penyidikan. Dikarenakan saat ini kita akan memeriksanya dalam sidang pengadilan, maka sangat adil jika terdakwa diberikan haknya untuk berobat dan jika nanti sehat maka terdakwa akan dapat mengikuti seluruh rangkaian persidangan demi mempertanggung jawabkan sangkaan yang telah di didakwakan kepadanya. Tidak baik jika orang sakit yang sudah di tahan lama, akan diperiksa dalam sidang dan di sebut tidak kooperatif,” tegasnya. **
Editor : D’ Dese Lewuk.