Oleh Peter Lewuk
KUNJUNGAN Presiden Joko Widodo ke Ukraina-Rusia (29-30 Juni 2022) membangkitkan kembali pengetahuan saya tentang pidato Bung Karno (Presiden Soekarno) pada forum Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 30 September 1960. Lantas apa hubungan antara kedua peristiwa bersejarah tersebut? Jelas ada! Baik Presiden Soekarno maupun Presiden Joko Widodo sama-sama melaksanakan apa yang saya sebut “Diplomasi Pancasila”.
Pada forum terhormat PBB, Bung Karno, sang orator kelas dunia itu, tampil memukau dan menggemparkan para kepala negara angota PBB dengan pidatonya bertajuk To Build the World a New atau Membangun Tata Dunia Baru. Sementara Presiden Joko Widodo tampil “tenang dan apa adanya” ketika bertemu dengan para pemimpin G-7 di Jerman maupun ketika bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Memang “tenang dan apa adanya”, namun bak kata pepatah: “Air sungai yang tenang bukan tanda tak dalam”.
Pancasila Peradaban Dunia
Dalam pidatonya di PBB, Bung Karno mengecam imperialisme dan kolonialisme yang menyebabkan penderitaan rakyat di Dunia Ketiga atau negara-negara belum berkembang. “Semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan, keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan perdamaian di negara-negara yang belum berkemag,” tegas Bung Karno.
Sang proklamator kemerdekaan RI itu, juga menyinggung soal perang nuklir, sekiranya terjadi, dan akibatnya terhadap negara-negara yang baru merdeka. “Kami tidak bersedia bahwa fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi awan radioaktif. Tak satu pun negara Asia-Afrika menginginkan awan radioaktif itu,” ujar Bung Karno.
Dalam pidatonya, sang filsuf dan ideolog Indonesia itu, juga menyentil filsuf Inggris Bertrand Russel (1827-1970), yang menggolongkan umat manusia ke dalam dua blok konflik ideologi. Yang satu menganut ajaran “Declaration of Independence”-nya Thomas Jefferson. Yang lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis-nya Marx-Lenin. Padahal arus sejarah dunia menunjukkan bahwa setiap bangsa mempunyai ide dan konsep tentang dirinya. Dan, Indonesia mempunyai Pancasila, yang tidak diinspirasikan oleh “Declaration of Independence” ataupun Manifesto Komunis, melainkan digali dan dirumuskan dari inti peradaban Indoensia sendiri.
Sebagai solusi konflik ideologi, Bung Karno kemudian menawarkan begini: “Saya percaya bahwa konflik-konflik ideologi mempunyai jalan keluar, yaitu dipakainya Pancasila secara universal.” Bung Karno sekali lagi menegaskan, “Saya sungguh percaya bahwa Pancasila mengandung lebih banyak daripada arti nasionalnya saja. Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional.” Menurut Bung Karno, Pancsila adalah intisari peradaban Indonesia, yang juga diusulkannya agar bisa menjadi “peradaban dunia” melalui PBB, yang hendaknya berstruktur dan berbasiskan Pancasila.
Mengawali uraiannya tentang Pancasila, Bung Karno mengutip ayat Al-Quran dan Injil. “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (QS Al-Hujarat ayat 13). Begitu pula Injil Lukas mengatakan, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara semua manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2: 14).
Menurut saya, ayat Al-Quran: “Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa” tergenapi dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan, ayat Injil Lukas mengamanatkan bahwa perdamaian dan kesejahteraan harus diupayakan dan ditegakkan di atas bumi oleh segala bangsa manusia. Pidato Bung Karno yang layaknya “kuliah” Pancasila kepada para pemimpin negara anggota PBB itu agak panjang, namun saya sarikan sebagai berikut.
Bahwa (1) setiap bangsa di dunia mempunyai hak untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. (2) Bahwa internasionalisme atau perikemanusiaan menegaskan setiap orang dan setiap bangsa manusia mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan yang sama, sehinga wajib menolak imperialisme dan kolonialisme. (3) Bahwa setiap bangsa mempunyai nasionalisme dan harga diri, sehingga segala bentuk dan manifestasi imperialisme dan kolonialisme harus ditolak. (4) Bahwa segala bangsa yang tergabung dalam PBB, dalam mencapai suatu kesepakatan, dapat menempuh cara perwakilan, musyawarah, dan mufakat.
Dengan kata lain, PBB bisa menjadi Majelis Permusyawaratan/Perwakilan Bangsa-Bangsa. (5) Bawha setiap bangsa wajib menciptakan keadilan sosiL-nasionalnya sendiri dan keadilan sosial-global/internasional, sehingga segala bentuk dan manifestsi imperialisme dan kolonialisme harus ditolak.
Pidato serasa “kuliah” Pancasila di PBB oleh Bung Karno itu, saya pikir masih sangat relevan dan aktual untuk diimplementasikan dewasa ini manakala dunia kita ini tengah dilanda krisis perang, terorisme, pandemi, dan kemiskinan.
Pancasila Jembatan Perdamaian
Bila Presiden Soekarno “menguliahi” para kepala negara anggota PBB, maka Presiden Joko Widodo sama sekali tidak menyajikan “kuliah” Pancasila, baik dalam pertemuan G-7 maupun pertemuannya dengan Presiden Zelenskyy-Putin. Yang dilakukan Presiden Joko Widodo adalah mengimplementasikan “tesis”-nya tentang “Pancasila sebagai the working ideology”. Beliau tidak berteori, melainkan memraktikkan Pancasila dalam bentuk kerja, kerja, dan kerja demi kepentingan nasional Indonesia maupun kepentingan internasional.
Yang diperlihatkan oleh Presiden Joko Widodo ke dunia internasional adalah “totalitas komitmen filosofis-ideologis-konstitusional”, yang diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yaitu: ‘Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Demikian pula konstirusi mengamantkan Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Oleh karena itu, dalam konteks solusi perang Rusia-Ukraina yang merampas hak rakyat Ukraina-Rusia atas kemerekaan, perdamaian, dan kesejahteraan, maka kiranya relevan, aktual, dan signifikan kalau saya mengatakan “Pancasila Jembatan Perdamaian”. Dan, jembatan itu telah mulai dibangun oleh Presiden Joko Widodo yang menjalani “Diplomasi Pancasila” ke dunia internasional.
Bahwa satu dua poin nilai-nilai Pancasila telah diamalkan oleh Presiden Joko Widodo tersirat dalam pertemuannya dengan para pemimpin G-7 maupun pertemuannya dengan presiden Ukraina-Rusia. Sebagaimana kita ketahui, dalam pernyataan pers bersama dengan Presiden Zelinskyy, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa kunjungannya ke Ukraina dan bertemu dengan Presiden Zelinskyy adalah “bentuk kepedulian Indonesia” terhadap situasi di Ukraina.
Meski masih sangat sulit dicapai, namun beliau tetap menyerukan penting dan urgennya penyelesaian damai. “Dalam konteks ini, saya menawarkan diri untuk membawa pesan dari Presiden Zelinskyy untuk Presiden Putin, yang akan saya kunjungi segera,” ujar Presiden Joko Widodo. Sebaliknya, Presiden Zelinskyy juga menghaturkan: “Terima kasih atas kunjungan pertama presiden Indonesia ke Ukraina dalam sejarah hubungan diplomatik. Dan kunjungan pertama pemimpin negara Asia ke Kyiv sejak awal perang Rusia skala penuh.”
Demikian pula, dalam pernyataan pers bersama Presiden Putin, Presiden Joko Widodo mengatakan, “Konstitusi Indonesia mengamanatkan agar Indonesia selalu berusaha berkontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia.” “Isu perdamaian dan kemanusiaan selalu menjadi prioritas politik luar negeri Indonesia. Dalam konteks inilah saya lakukan kunjungan ke Kyiv dan Moskow,” ujar presiden.
Jelas bahwa isu perdamaian dan kemanusiaan sangat berkaitan erat dengan sila kedua dari Pancasila: “Kemanuisaan yang adil dan beradab”. Harkat dan martabat kemanusiaan rakyat Ukraina-Rusia diperlakukan secara tidak adil dan sangat terhinakan akibat perang dan tidak dihargai oleh penguasa kedua negara itu. Demikian pula halnya dengan masalah pangan, pupuk, dan energi yang merupakan hak sosial-ekonomi, tidak hanya menyangkut hak rakyat Ukraina-Rusia, melainkan juga hak rakyat negara-negara berkembang.
Perang Rusia-Ukraina telah menyebakan terblokirnya rantai pasok pangan, pupuk, dan energi yang berdampak pada ratusan juta masyarakat dunia. Perang telah merusak tatanan keadilan sosial-ekonomi nasional, maupun tatanan keadilan sosial-ekonomi internasional (perihal keadilan sosial, bdk. sila kelima dari Pancasila).
Sebaliknya, dalam pertemuan empat mata dan pernyataan bersama dengan Presiden Joko Widodo, Presiden Putin berjanji memberikan jaminan keamanan untuk pasokan pangan, pupuk, dan energi, baik dari Rusia maupun dari Ukraina. Selain itu, secara bilateral tentang kerja sama investasi antara Rusia dan Indonesia.
Momentum Historis
Banyak pihak mempertanyakan, apakah diplomasi damai yang dilaksanakan Presiden Joko Widodo akan berhasil? Jawaban atas pertanyaan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Namun paling tidak, Presiden Joko Widido telah menciptakan “momentum historis” strategis demi berjalannya proses penyelesaian damai.
Sebaliknya, hal yang paling penting terrpulang kepada Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Apakah kedua pemimpin itu mau “bertobat” dan mulai membuka ruang dialog perdamaian dan menghentikan perang ataukah masih tetap keras kepala? Demikian pula para pemimpin negara-negara maju lainnya, jangan terus memelihara adagium “si vis pacem para bellum” alias barangsiapa menginginkan perdamaian, persiapkannlah perang.
Akhirul kalam, demi terciptanya perdamaian Rusia-Ukraina mapun perdamaian dunia, mari kita sebagai rakyat dan bangsa Indonesia mendukung pernyataan dan ajakan Presiden Joko Widodo: “Saya mengajak seluruh pemimpin dunia untuk kembali menghidupkan multilateralisme, semangat damai, dam semangat kerja sama. Karena hanya dengan spirit ini, perdamaian dapat dicapai.” ***
*Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.