DALAM rangka Puasa dan Paskah 2023, saya ingin menyumbangkan lagi sebuah refleksi filosofis-teologis singkat tentang “tragedi hukum dan keadilan” yang menimpa seorang tokoh pemimpin dunia terkenal bernama Yesus Kristus. Meski refleksi teologis ini dari perspektif kristen, namun terbuka untuk diketahui publik nonkristen, demi membangun budaya toleransi terhadap perpedaan keyakinan agama di Indonesia. Perbedaan keyakinan agama tidak mesti berarti seseorang tidak boleh mempelajari dan mengetahui keyakinan iman orang lain, yang berbeda dengan keyakinan imannya sendiri. Juga mengetahui keyakinan iman orang lain tidak lantas berimplikasi kafir, murtad, atau mualaf.
Sejarah dunia mencatat bahwa kurang lebih pada 33 Masehi, Mahkamah Agama Yahudi (Sanhedrin) dan pengadilan kolonial Roma menjatuhkan hukuman mati terhadap Yesus. Adapun dakwaan primer, yang kalau diparalelkan dengan terminologi versi hukum Indonesia, adalah “penistaan agama”, atau “menghujat Allah” menurut versi hukum Yahudi. Dakwaan sekunder adalah “subversi politik” terhadap kaisar. Tentu saja semua dakwaan itu hasil rekayasa oleh elite pemimpin Yudaisme, dan bukan karena benar-benar dilakukan oleh Yesus.
Kisah penangkapan, proses pengadilan, dan sengsara menuju penyaliban di bukit Golgota atau Kalvari, hingga wafat di kayu salib, sangat dramatis dialami oleh Yesus. Perihal kisah tersebut, dapat dibaca sendiri dalam Injil oleh orang kristen. Yang penting dikemukakan dalam kesempatan ini adalah “tragedi hukum dan keadilan” yang dialami oleh Yesus pada awal Masehi, yang melibatkan baik pihak manusia (Yahudi-Roma) maupun pihak Allah, hal mana melahirkan masalah Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia atau HAM berat oleh Allah dan orang Yahudi-Roma terhadap Yesus? Apa pula implikasinya terhadap hukuman mati yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia?
Tokoh Kontroversial
Yesus memang seorang tokoh kontroversial dan membingungkan banyak orang, baik di zaman awal Masehi maupun hingga milenium ketiga ini. Eksistensi, citra, dan kinerja Beliau, terutama pekerjaan-pekerjaan dan pengajaran-Nya dialami sebagai antitesis terhadap kepentingan kekuasaan elite pemimpin agama Yahudi dan elite kolonial Roma. Rezim agama dan rezim politik pada awal Masehi tidak mengetahui persis siapa sosok Yesus sebenarnya. Padahal para elite Yudaisme seharusnya mengetahui Sosok tersebut, baik berdasarkan nubuat para nabi dalam sejarah Israel, maupun berdasarkan citra dan kinerja yang diperlihatkan oleh Yesus di tengah-tengah orang Yahudi-Israel.
Sementara bagi elite kolonial Roma, tidaklah penting siapa itu Yesus. Yang penting bagi mereka ialah perintah Yesus kepada para pengikut dan para kader-Nya untuk membayar pajak kepada kaisar (Mat. 22: 21). Sementara bagi elite pemonopoli agama, yaitu kaum Farisi dan Ahli Taurat, pengajaran Yesus tentang Injil Kerajaan Allah dan kritik Yesus terhadap formalisme dan legalisme agama menjadi masalah dan tantangan besar bagi eksistensi Yudaisme. Apalagi dalam kenyataan, Yesus mendapat banyak pengikut dari kalangan rakyat dan umat biasa yang termarginalkan dalam masyarakat.
Demikian pula, bagi elite aristokrat Saduki dan para pengusaha Yahudi kaya, yang memonopoli Bait Allah, kritik tajam Yesus tentang Bait Allah (dirobohkan dan dibangun kembali dalam tiga hari, Yoh. 2: 19), jelas membahayakan kedudukan dan jabatan strategis mereka yang mendapat legitimasi dan otorisasi dari rezim kolonial untuk mengurus Bait Allah. Gara-gara Yesus mereka bisa dipercat dari jabatan dan kedudukan yang empuk dan bisnis di Bait Allah yang menjanjikan keuntungan.
Injil mencatat bahwa ketidakharmonisan dan relasi konfliktual antara Yesus dan elite Yudaisme berpuncak pada “Penolakan Orang Yahudi Terhadap Yesus” melalui “rekayasa politik penistaan agama” yang dituduhkan kepada Yesus. Pada hari Pentahbisan Bait Allah, orang Yahudi menantang Yesus: “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebingungan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami.” (Yoh. 10: 24). Orang Yahudi sudah menyaksikan apa yang dikerjakan dan diajarkan oleh Yesus, tetapi mereka masih binggung dan bimbang, apakah Yesus benar-benar Mesias, sang pembebas seperti dinubuatkan oleh para nabi, apalagi Yahudi-Israel dalam kondisi masih dijajah oleh Roma. Kapan Yesus tampil sebagai Sang Mesias Politik untuk memerdekakan Yahudi-Israel dari jajahan Roma?
Debat Ke-Allah-an Yesus
Kebingungan dan kembimbangan orang Yahudi mengenai pribadi Yesus kemudian melahirkan “debat teologis tentang keilahian atau ke-Allah-an Yesus”. Menjawab kebingungan orang Yahudi, Yesus menegaskan bahwa segala perkerjaan yang dikerjakan-Nya atas nama Allah-Bapa-Nya itulah yang memberi kesaksian tentang siapa diri-Nya. Namun orang Yahudi, terutama elite agama, tidak percaya, bahkan mereka mau melempari Yesus dengan batu. Tetapi kata Yesus: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu, pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku? Jawab orang Yahudi: ‘Bukan karena suatu pekerjaan yang baik, maka kami mau melemperi Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan Engkau sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.’”(Yoh. 10: 31-33).
Sebaliknya dengan menggunakan argumen Kitab Suci, Yesus kembali mendebat orang Yahudi (baca Yoh. 10: 34-39). Argumen yang diambil Yesus dari Mazmur 82 itu, intinya adalah begini: Bahwa dalam “sidang ilahi” Allah sendiri pernah menyamakan manusia pembesar di dunia ini sebagai “allah”, namun pembesar dunia berlaku lalim dan tidak adil terhadap orang lemah serta memihak pada orang fasik. Dalam sidang ilahi itu Allah menegaskan begini: “Aku sendiri telah berfirman: ‘Kamu adalah allah… Namun seperti manusia kamu akan mati dan seperti salah seorang pembesar kamu akan tewas.” (Maz. 82: 1-7). “Allah” yang dapat mati tentunya bukan Allah sesungguhnya yang Mahakuasa dan kekal.
Maksud Yesus adalah begini: Sedangkan terhadap manusia saja (yaitu si pembesar dunia) Allah Bapa pernah menyamakan pembesar itu dengan “allah”. Apalagi dengan orang yang dikuduskan dan diutus oleh Allah Bapa, tentu saja orang yang dikuduskan dan diutus oleh Allah Bapa itu berkarakter ilahi atau berhakikat ke-Allah-an. Nah, orang yang dikuduskan dan diutus oleh Allah Bapa itu tidak lain dan tidak bukan adalah Yesus sendiri, Sang Mesias, Sang Juruselamat, Sang Pembebas, Sang Penebus.
Kata Yesus: “… masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah? Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah kepada pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku, dan Aku di dalam Bapa.” (Yoh. 10: 36-38). Pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus, misalnya membangkitkan orang mati (kisah tentang Lazarus dibangkitkan: Yoh. 11), membuktikan kuasa keilahian dalam diri-Nya atau ke-Allah-an diri Yesus.
Tiga Institusi Pengadilan
Bahwa Yesus “sungguh manusia sungguh Allah” terungkap dengan jelas dalam debat teologis tersebut di atas. Terutama penegasan oleh Yesus sendiri: “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa”. Atau “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10: 30). Ini adalah penegasan tentang kesehakikatan ke-Allah-an Yesus dan Allah Bapa. Jadi Yesus itu Allah, Yesus itu Tuhan. Justru pernyataan Yesus tentang diri-Nya sebagai Anak Allah dinilai sebagai menghujat Allah alias penistaan agama, dan menurut hukum Taurat, si penghujat dan penista Allah harus dihukum mati. Dengan demikian proses pengadilan terhadap Yesus, tidak bisa tidak, harus digelar.
Ada tiga institusi yang menangani pengadilan terhadap Yesus. Pertama adalah Mahkamah Agama di hadapan Imam Besar Hanas Kayafas, yang pernah menasihati orang Yahudi bahwa “adalah lebih baik satu orang mati untuk seluruh bangsa” (Yoh. 18: 14). Yesus didakwa dengan dakwaan primer “penistaan agama”. Imam Besar bertanya: “Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji? Jawab Yesus, Akulah Dia dan kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa … “ Maka berkatalah Imam Besar: “Untuk apa lagi kita perlu saksi? Kamu sudah mendengar hujat-Nya terhadap Allah.” Maka dengan suara bulat seluruh Mahkamah Agama memutuskan agar Yesus harus dihukum mati. (Mrk. 14: 53-65).
Lembaga pengadilan kedua adalah Pengadilan Wali Negeri yang gubernurnya adalah Pilatus. Yesus didakwa dengan dakwaan sekunder yaitu subversi politik terhadap kaisar dengan melarang membayar pajak kepada kaisar (Luk. 23: 2a). Padahal dalam kenyataan Yesus menyuruh pengikut dan para kader-Nya membayar pajak kepada kaisar. Jadi dakwaan itu palsu. Juga Yesus didakwa menganggap diri-Nya Raja (Luk. 23: 2b). Dan, “orang yang menganggap dirinya raja dia melawan kaisar” (Yoh. 19: 12) yang bisa berimplikasi subversi politik terhadap rezim kolonial. Bertanyalah Pilatus: “Engkaukah Raja orang Yahudi? Jawab Yesus: Engkau mengatakan bahwa Aku adalah Raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia.” (Yoh. 18: 37).
Pihak ketiga yang ikut memeriksa Yesus adalah pihak Herodian dalam hal ini adalah Raja Herodes Antipas yang kebetulan saat itu berada di Yerusalem. Karena Yesus berasal dari wilayah Galilea yang dikuasai Herodes, maka Pilatus mengirim Yesus ke Herodes untuk diperiksa. Herodes mengajukan banyak pertanyaan kepada Yesus, tetapi Yesus tidak menjawab satu patah kata pun. Maka Herodes yang pernah dikecam sebagai serigala oleh Yesus itu pun mengembalikan Yesus ke Pilatus (Luk. 23: 8-12).
Pelanggaran HAM, Tuhan Mati?
Ada tiga problem fiilosofis-teologis yang timbul dari tragedi hukum dan keadilan yang dialami oleh Yesus. Pertama adalah problem filosofis keadilan dengan prinsip: Berikan kepada orang apa yang menjadi hak orang itu dan tidak boleh dirampas dengan alasan apa pun!. Menurut Pilatus, dia sama sekali tidak menemukan kesalahan apa pun pada diri Yesus (Yoh. 18: 38b), sehingga demi keadilan Yesus harus dibebaskan. Sebaliknya, orang Yahudi menuntut Yesus harus dihukum mati, karena Dia bersalah menghujat Allah. Kasus yang dialami Yesus melahirkan “dilema hukum” yang berujung “tragedi hukum dan keadilan” berupa “Memvonis dan mengeksekusi mati seorang Raja yang tidak bersalah yaitu Yesus”. Ini tentu pelanggaran HAM berat terhadap harkat dan martabat kemanusiaan Yesus dan hak asasi-Nya untuk hidup, yang harus diakui dan tidak boleh dirampas dengan alasan apa pun.
Kedua adalah problem teologis, yang kalau dilihat dari sisi Allah, Yesus tidak mungkin menghujat Allah Bapa-Nya, karena Yesus dan Allah Bapa sehakikat dalam ke-Allah-an. Namun faktanya, Allah menghendaki kematian Yesus, yang juga disadari, diakui, dan dijalankan dengan bebas tanpa paksaan, serta tahu dan mau oleh Yesus sendiri. Terbukti dari Yesus tiga kali memberitahukan tentang kematian-Nya (Mat. 16: 21; Mat. 17: 22-23; Mat. 20: 17-19). Nah, dapatkah Allah dikatakan melakukan pelanggaran HAM berat terhadap Yesus, yang nyatanya tidak menghujat Allah? Jadi, baik orang Yahudi-Roma maupun Allah sama-sama melanggar HAM-Nya Yesus?
Ketiga adalah problem teologis kematian Allah. Dalam debat apologetik virtual di kanal-kanal media sosial antara sementara pihak apologet Islam versus sementara apologet kristen, terlontar semcam “cemoohan” bahwa “Tuhannya orang kristen kok bisa mati, ya”? Menurut keyakinan iman kristen, “Yesus adalah seorang pribadi yang berhakikat sungguh manusia sungguh Allah”. Nah, hakikat Yesus yang sungguh manusia sungguh Allah dapat melahirkan inferensi (proses menarik kesimpulan) logis bahwa “sebagaimana kemanusiaan Yesus mati, demikian pula ke-Allah-an Yesus pun mati”. Akan tetapi, benarkah logika inferensi seperti itu?
Misteri Kasih Allah
Solusi tiga problem filosofis-teologis tersebut di atas terdapat dalam “Misteri Kasih Allah”, yang rancangan-Nya bukanlah rancangan manusia, yang jalan-Nya bukanlah jalan manusia (bdk. Yes. 55: 8-9). Sungguh Allah adalah kasih (1 Yoh. 4: 16), yang rahasia rancangan kasih-Nya sungguh tak terpahami akal manusia. Lantaran mengapa program sejarah keselamatan manusia dan dunia itu justru harus ditempu dengan satu-satunya jalan yaitu kematian Yesus di kayu salib? Tidak bisakah tebusan itu dilakukan dengan korban hewan saja, misalnya? Jawaban atas pertanyaan mahapenting itu adalah sebagai berikut:
Karena dosa melawan kehendak dan kedaulatan Allah berakibat Allah menjatuhkan hukuman mati bagi manusia. Namun demi kasih karunia dan kerahiman-Nya, Allah harus menebus kembali manusia yang diciptakan menurut citra-Nya sendiri dari kematian kekal. Dan satu-satunya cara adalah harus melalui kematian dan kebangkitan manusia pula. Tidak ada cara lain. Namun, bagaimana mungkin manusia yang berdosa dapat menebus dirinya sendiri dan bebas dari kematian kekal?
Tentu saja tidak mungkin, karena “tidak ada seorang pun dapat membebaskan dirinya, atau memberi tebusan kepada Allah ganti nyawanya, karena terlalu mahal harga penebusan nyawanya, dan tidak memadai untuk selama-lamanya”. (Mzm. 49: 8-9). Mahalnya harga tebusan nyawa manusia membuktikan bahwa betapa manusia bernilai sangat tinggi di mata Tuhan, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra Tuhan sendiri.
Kalau demikian, adakah manusia yang memiliki kualifikasi nilai tebusan termahal untuk diberikan kepada Allah ganti menyelamatkan nyawa manusia dari kematian kekal? Adakah manusia sempurna tanpa dosa yang nilai diri pribadinya memadai sebagai tebusan yang dapat diberikan kepada Allah? Ada! Manusia sempurna tanpa dosa itu adalah Yesus Kristus, yang “sungguh Allah sungguh Manusia”. Dia setara dan sehakikat dengan Allah.
Yesus Kristus mengorbankan nyawa-Nya sebagai tebusan dan dengan kebangkitan-Nya, Ia menyelamatkan manusia dari kematian kekal kepada kehidupan abadi di sisi Allah. Tanpa kematian dan kebangkitan Yesus, tidak ada penebusan. Maka kematian dan kebangkitan Yesus mempunyai nilai eksistensial-ultimat bagi kehidupan kekal manusia. “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara Allah dan manusia, yaitu manusia Yesus Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia.” (1 Tim. 2: 5-6). Dari perspektif rahasia kasih Allah, maka kematian Yesus di katyu salib adalah kebodohan menurut hikmat manusia, tetapi merupakan kemenangan menurut hikmat Allah (bdk 1 Kor. 1: 18-30).
Tidak ada satu manusia pun di dunia ini, yang berasal dari lingkungan agama apa pun, yang ingin mati, tetapi faktanya manusia mati. Manusia menginginkan agar setelah mati dari dunia ini, ia akan hidup terus untuk selamanya. Menurut keyakinan iman kristen, kematian dan kebangkitan Yesus adalah jawaban satu-satunya terhadap kerinduan ekistensial-ultimat manusia itu. Namun, satu-satunya syarat mutlak yang juga harus dipenuhi oleh manusia untuk hidup kekal adalah percaya kepada Tuhan Yesus, Sang Juruselamat dan menjalankan kehendak Allah Bapa-Nya sebagaimana dikerjakan dan diajarkan oleh Yesus, yang kemudian dilanjutkan oleh Gereja-Nya hingga akhir zaman.
Misteri Matematika Keselamatan
Misteri kasih Allah itu, bila saya konversikan ke dalam rumus “misteri logika matematika keselamatan”, maka menjadi sebagai berikut: – + – = + ( – adalah kematian, + adalah kehidupan), maka “kematian” manusia berdosa plus “kematian” Yesus yang tidak berdosa akan menghasilkan (=) “kehidupan kekal” bagi manusia oleh kebangkitan Yesus Kristus. Itulah misteri sejarah keselamatan umat manusia yang dirancang oleh Allah dan dilaksanakan oleh Yesus. Penting dicatat bahwa “nilai hewan korban” tidaklah memadai untuk dijadikan tebusan bagi “martabat manusia”. Hanya nilai martabat kemanusiaan Yesus yang suci dan tidak berdosa, yang wafat dan bangkitlah, pantas menjadi korban tebusan bagi manusia dan layak dipersembahkan kepada Allah.
Jadi, dari perspektif “misteri kasih Allah”, maka dalam kasus pengadilan, vonis mati, serta eksekusi mati yang dialami oleh Yesus, sama sekali tidak ada pelanggaran HAM berat, baik oleh Allah maupun oleh orang Yahudi-Roma. Ini terungkap secara implisit dari doa Yesus di kayu salib: “Ya Bapa ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23: 34). Apa yang diperbuat orang Yahudi-Roma, yang digerakkan oleh ketidaktahuan mereka, itu adalah koinsiden dan konsisten dengan misteri kehendak dan rancangan kasih Allah, sehingga sulit untuk menilai orang Yahudi-Roma melakukan pelanggaran HAM berat terhadap Yesus.
Selanjutnya, bagaimana dengan logika inferensi bahwa sebagaimana kemanusiaan Yesus mati, demikian pula halnya dengan ke-Allah-an Yesus pun mati? Sehingga muncul cemoohan: Tuhannya orang kristen kok dapat mati, ya? Logika inferensi tersebut memang logis, namun salah, karena yang mati hanyalah manusia Yesus, bukan ke-Allah-an Yesus. Allah itu hidup, Allah itu kekal, dan Allah itu tidak dapat mati.
Murid langsung Yesus, yaitu Petrus, dengan tegas mengatakan: “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh.” (1 Ptr. 3: 18). Jadi, Roh ke-Allah-an Yesus tidak dapat mati, hanya kemanusiaan-Nya yang dapat mati. Mempersoalkan dan mencemooh Allah orang Kristen dapat mati adalah sebuah kefasikan dan kebodohan runyam. Kritik terhadap Allah orang kristen sama sekali tidak mempunyai nilai se-iota atau setitik pun, malah sebaliknya bisa menjadi bumerang!
Jangan Membunuh!
Akhirul kalam, apa implikasi proses pengadilan, vonis mati, dan eksekusi mati terhadap Yesus bagi hukuman mati dalam sistem hukum manusia, misalnya di Indonesia? Singkat saja, begini: Jelas bahwa tragedi hukum dan keadilan yang dialami oleh Yesus itu masuk dalam wilayah hak prerogatif Allah dan rancangan misteri kasih Allah dalam rangka keselamatan manusia, dunia, dan sejarah, sehingga tidak dapat diadopsi untuk praksis hukum manusia.
Jangan berpikir bahwa karena Allah juga menghendaki Yesus dihukum mati di kaya salib, maka vonis mati dan eksekusi mati pun dapat diadopsi dan diberlakukan terhadap manusia! Mengapa? Karena dalam Dekalog atau Sepuluh Perintah yang diberikan kepada Musa dan orang Israel, Allah degan tegas melarang pembunuhan. “Jangan membunuh!” (Kel. 20: 13).
Meskipun diktum amar putusan dalam pembacaan vonis menyebutkan: “Demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu tidak berarati meminta Tuhan melegitimasi vonis mati terhadap seseorang terpidana mati, karena Tuhan memang melarang manusia membunuh. Vonis mati dan eksekusi mati terhadap Yesus sama sekali beda dengan vonis mati dan eksekusi mati terhadap seseorang terpidana, karena Allah melarang membunuh. Dengan demikian, hukuman yang adil adalah yang paling maksimal yaitu seumur hidup.***
Penulis adalah cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT.